Pengangkatan sejumlah relawan politik dalam jabatan strategis dianggap mencederai prinsip meritokrasi. Contoh paling mencolok adalah penunjukan 13 relawan sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
5. Kebangkitan Dwifungsi Militer
Jokowi dituding mencoba menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer melalui perluasan jabatan sipil yang bisa diisi oleh anggota TNI aktif. Hal ini dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi sipil.
6. BUMN sebagai Alat Politik
Perubahan kebijakan di Kementerian BUMN memungkinkan pejabat rangkap jabatan, yang dinilai YLBHI sebagai pelanggaran prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
7. Penggunaan Intelijen untuk Kepentingan Pribadi
BACA JUGA:Ketika Program Gizi Nasional Menuai Pro dan Kontra di Lingkup Pesantren
BACA JUGA:Waspada Virus Baru HMPV Merebak di China, Indonesia Tingkatkan Langkah Antisipasi
YLBHI menyoroti peran intelijen dalam memperkuat posisi politik Jokowi, dengan menunjuk individu-individu loyal sebagai staf khusus yang bertugas mengumpulkan informasi strategis.
8. Represi Terhadap Gerakan Rakyat
Pemerintahan Jokowi juga ditandai dengan penggunaan aparat keamanan untuk menekan aksi-aksi protes. Selama masa jabatannya, ribuan aktivis dan masyarakat menjadi korban represi.
9. Proyek Strategis yang Merampas Ruang Hidup
Sejumlah kebijakan terkait Proyek Strategis Nasional dinilai lebih mengutamakan keuntungan ekonomi dibandingkan kelestarian lingkungan dan hak masyarakat terdampak. Proyek seperti Rempang Eco City menjadi simbol konflik antara pemerintah dan warga.
10. Nepotisme Kekuasaan
Puncaknya, YLBHI menyebut upaya Jokowi untuk mengamankan posisi politik keluarganya sebagai puncak nepotisme. Dukungan terbuka terhadap anaknya, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2024 dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Pernyataan YLBHI ini bukan hanya kritik terhadap individu, melainkan juga peringatan terhadap sistem yang membiarkan korupsi dan pelanggaran terus berlanjut. Masuknya nama Jokowi dalam nominasi OCCRP mungkin menjadi sinyal bahwa ada yang salah dalam sistem tata kelola pemerintahan Indonesia.