Kecanduan media sosial telah menjadi fenomena global yang terus meningkat, terutama di kalangan remaja. Penggunaan media sosial yang berlebihan membawa dampak serius pada kesehatan mental, termasuk peningkatan risiko kecemasan, depresi, hingga gangguan sosial.
Kebijakan baru Australia yang melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial menjadi langkah awal yang signifikan dalam mengatasi masalah ini. Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini untuk melindungi generasi mudanya dari dampak negatif media sosial.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial yang bermasalah, yang ditandai dengan gejala adiktif, seperti ketidakmampuan mengontrol penggunaan dan gejala penarikan diri saat tidak menggunakan media sosial, meningkat tajam di kalangan remaja.
Pada tahun 2018, hanya 7 persen pengguna remaja yang menunjukkan tanda-tanda kecanduan media sosial. Namun, angka tersebut melonjak menjadi 11 persen pada tahun 2022.
BACA JUGA:Mengatasi Fenomena Boros Pangan
Di Amerika Serikat, rata-rata remaja menghabiskan 4,8 jam per hari di media sosial. Data ini mencerminkan risiko kesehatan mental yang signifikan. Remaja yang menghabiskan lebih dari tiga jam per hari di media sosial memiliki kemungkinan dua kali lebih besar mengalami kecemasan dan depresi dibandingkan mereka yang menggunakan media sosial lebih sedikit.
Penggunaan media sosial juga terkait dengan rendahnya harga diri, perundungan, penurunan kinerja akademik, dan bahkan peningkatan angka bunuh diri di kalangan remaja Amerika Serikat dalam dekade terakhir
Australia telah mengambil langkah tegas dengan melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial. Perusahaan, seperti Meta (pemilik Facebook dan Instagram) dan TikTok, menghadapi ancaman denda hingga AUD 50 juta (sekitar Rp500 miliar) jika melanggar aturan ini. Kebijakan ini bertujuan melindungi anak-anak dari dampak psikologis dan sosial yang merugikan akibat kecanduan media sosial.
Langkah ini mencerminkan tanggung jawab negara dalam melindungi generasi muda. Dengan adanya regulasi ketat, perusahaan teknologi didorong untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola platform mereka. Selain itu, Australia juga menunjukkan bagaimana pemerintah dapat memimpin dalam menetapkan standar untuk mengurangi dampak negatif media sosial secara global.
BACA JUGA:Akhir Perang Ukraina Dalam Kendali Donald Trump
Implikasi bagi Indonesia
Indonesia, dengan jumlah pengguna media sosial mencapai 191 juta orang pada 2023 (We Are Social), termasuk negara dengan penetrasi media sosial tertinggi di dunia. Pengguna media sosial di Indonesia rata-rata menghabiskan 3 jam 17 menit per hari di platform, seperti TikTok, Instagram, dan Facebook, jauh di atas rata-rata global yang hanya 2 jam 27 menit.
Dampaknya, remaja di Indonesia juga menghadapi tantangan kesehatan mental yang serius. Survei Ikatan Psikolog Klinis Indonesia pada 2022 mencatat bahwa 40 persen remaja melaporkan mengalami tekanan psikologis yang signifikan akibat media sosial. Selain itu, laporan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kasus depresi di kalangan remaja meningkat sebesar 20 persen dalam lima tahun terakhir, yang sebagian besar terkait dengan peningkatan penggunaan media sosial.
Untuk melindungi generasi muda, Indonesia dapat mempertimbangkan beberapa langkah strategis berikut:
Mengikuti langkah Australia, Indonesia dapat menetapkan batas usia minimum 16 tahun untuk pengguna media sosial. Kebijakan ini dapat didukung oleh mekanisme verifikasi usia yang ketat, seperti integrasi dengan data kependudukan nasional (e-KTP) untuk memastikan pengguna sesuai dengan peraturan.
BACA JUGA:'Membangun di Lahan Basah', Sebuah Cerita dari Pesisir Utara Jakarta