Posmodernisme, Identitas bangsa, dan Arah Pembangunan
Foto udara kawasan Desa Ranupani di Lumajang, Jawa Timur, Kamis (12/9/2024). Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mengalokasikan Rp12,31 triliun dana desa dari total Rp50,35 triliun untuk pemberian pupuk, bibit-Irfan Sumanjaya/Spt-ANTARA FOTO
JAKARTA - Pada era modern, arus globalisasi membawa kecenderungan untuk menyeragamkan berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Modernisasi sering dimaknai sebagai adopsi standar-standar global dalam bidang teknologi, ekonomi, pendidikan, hingga budaya.
Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, terjebak dalam pola pikir yang berusaha meniru sistem dan cara hidup negara maju, dengan harapan dapat menjadi bagian dari masyarakat industri yang dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan.
Namun, pandangan yang terkesan lazim ini sebenarnya kurang realistis. Mengapa? Setiap bangsa memiliki keunikan dan keragaman yang terbentuk dari sejarah, kondisi sosial, dan budaya yang khas.
Ketika modernisasi diterapkan tanpa mempertimbangkan latar belakang budaya dan konteks sosial setiap bangsa, hal ini berpotensi mengabaikan aspek-aspek yang membentuk identitas bangsa. Dalam hal ini, modernisasi yang terlalu seragam dapat menyebabkan krisis identitas bagi bangsa yang tidak memiliki ketahanan budaya.
BACA JUGA:Presiden Prabowo Kaji Sistem Multitarif PPN Demi Keadilan Pajak Rakyat
BACA JUGA:Bapanas Jamin Stok Beras Aman Menyambut Natal dan Tahun Baru 2025
Setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan pandangan hidup dan cara berpikir yang sejalan dengan akar sosial dan budayanya. Bagi Indonesia, prinsip ini telah tertuang dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, yang menegaskan bahwa kemerdekaan diperjuangkan untuk menciptakan kehidupan kebangsaan yang bebas. Dengan demikian, kemerdekaan ini mencakup hak untuk menentukan arah pembangunan yang selaras dengan karakter dan nilai-nilai bangsa.
Pemikiran ini juga sejalan dengan konsep posmodernisme, yang menolak gagasan narasi besar (grand narrative) yang berlaku secara universal.
Posmodernisme menawarkan pendekatan yang menghargai pluralitas dan mengakui bahwa setiap bangsa memiliki sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang berbeda, yang membentuk identitas nasionalnya. Pendekatan pembangunan yang mengedepankan tradisi, sejarah, dan kearifan lokal merupakan pilihan yang sah dan patut dihormati. Identitas bangsa bukan sekadar pembeda; ia adalah pilar utama yang membangun rasa percaya diri dan kebanggaan bangsa dalam menghadapi dinamika global.
Sebuah konsep pembangunan suatu bangsa idealnya tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi atau pertumbuhan material semata. Pembangunan seharusnya mencakup aspek-aspek yang menjadi identitas dan jati diri bangsa.
BACA JUGA:Presiden Umumkan Kenaikan UMP 6,5 Persen, Ini Respon Ekonom
BACA JUGA:Masuk Kategori UMKM, Menteri ESDM Sebut Ojek Online Masih Bisa Gunakan BBM Subsidi
Setiap program pembangunan yang dijalankan sudah selayaknya berlandaskan pada nilai-nilai lokal yang relevan dengan kebutuhan masyarakat setempat, bukan sekadar meniru praktik-praktik dari luar. Misalnya, dalam pembangunan ekonomi, budaya gotong royong yang merupakan nilai lokal bisa dikembangkan menjadi model kolaborasi bisnis di desa atau kota kecil, yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan merasakan manfaat secara langsung.
Pembangunan yang selaras dengan identitas bangsa cenderung lebih efektif karena mencerminkan aspirasi dan kepentingan warga negara. Hal ini penting agar setiap warga dapat merasakan manfaat nyata dari pembangunan dan terdorong untuk berpartisipasi aktif dalam prosesnya.