Hendrya Sylpana

Aturan Kemasan Polos Tanpa Merek: Industri Tembakau Hadapi Ancaman PHK Massal

Kemasan rokok tanpa merek, menjadi salah satu aturan yang ditolak pelaku industri tembakau di aturan turunan PP 28 tahun 2024. (McCabe Centre)--

BELITONGEKSPRES.COM - Anggota Komisi XI DPR, Willy Aditya, menyampaikan keprihatinannya terkait Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang dianggap berpotensi membawa dampak negatif bagi industri hasil tembakau (IHT). 

Menurutnya, aturan pengetatan terkait produk rokok ini justru bisa memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di sektor tersebut, yang ironisnya bertentangan dengan upaya pemerintah untuk membuka lapangan kerja.

"Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, kebijakan ini malah mengancam kesejahteraan banyak orang dan memperburuk kondisi ekonomi, khususnya di sektor industri tembakau," ujar Willy pada Selasa, 24 September.

Willy menjelaskan, potensi terjadinya PHK ini disebabkan oleh banyaknya pengetatan dalam regulasi produksi rokok, termasuk aturan pelaksanaan dari Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang memuat standarisasi kemasan rokok polos tanpa merek. 

BACA JUGA:MenPANRB Terbitkan Surat Edaran, ASN yang Terlibat Judi Online Akan Dikenakan Sanksi Tegas

BACA JUGA:Hasil Analisis Jet Pribadi Kaesang Belum Diumumkan, KPK Saling Lempar Tanggung Jawab

Aturan ini dipandang sebagai kebijakan sepihak yang tidak mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak terkait, sehingga bisa berdampak negatif bagi industri secara keseluruhan.

"Jika aturan kemasan polos tanpa merek diterapkan, produksi rokok akan menurun drastis. Banyak warung kelontong mengandalkan penjualan rokok sebagai sumber penghasilan harian, dan ini akan menekan produksi IHT secara keseluruhan," ungkapnya. Penurunan produksi ini, menurut Willy, akan memaksa industri melakukan efisiensi, yang berarti pemangkasan tenaga kerja dalam skala besar.

Kementerian Perindustrian bahkan memperkirakan bahwa PHK tidak hanya akan terjadi di industri tembakau, tetapi juga di sektor-sektor pendukung seperti industri kertas dan filter rokok. 

Willy menekankan bahwa industri tembakau telah lama menjadi bagian penting dari perekonomian dan identitas nasional, dengan banyak masyarakat yang menggantungkan hidup mereka pada sektor ini, mulai dari petani tembakau hingga pedagang kecil.

BACA JUGA:Nasib Gaji PPPK Paruh Waktu: Informasi Penting Bagi Honorer di 2024

BACA JUGA:Sidang Korupsi Timah: 16 Nama PNS Dinas ESDM Babel Bersaksi untuk Mantan Pimpinan

Lebih jauh, Willy mengungkapkan bahwa sejumlah pengusaha, baik lokal maupun asing, juga mengeluhkan dampak Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 terhadap industri rokok nasional. 

RPMK yang mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)—yang tidak diratifikasi oleh Indonesia—dianggap tidak cocok dengan kondisi industri rokok dalam negeri, terutama bagi pelaku usaha rokok kretek dan produsen rumahan (UMKM).

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan