Pancasila dan Digitalisasi Menuju Indonesia Emas 2045
Pekan Kebudayaan Betawi yang digelar dalam memperingati Hari Lahir Pancasila di Jakarta Utara pada Minggu (2/5/2024).ANTARA/HO-Polres Jakut--
Bangsa Indonesia patut bersyukur karena mempunyai ideologi paling mengakar dibandingkan negara lain. Ideologi bangsa kita berbeda dengan produk negara lain, sedangkan Pancasila adalah ideologi yang merupakan karya bersama.
Kiai kampung, seperti KH Anwar Zahid (Bojonegoro, Jawa Timur), Bu Nyai Hj Mumpuni Handayayekti (Cilacap, Jawa Barat), bahkan sampai Cak Ukil (M Sulukhil Amin, guru ngaji di PP Tebuireng Jombang), sering menguji jamaahnya, apakah hafal teks Pancasila atau tidak.
Tidak hanya tokoh, seorang TKI Bernama Siti merawat anak di Taiwan Sha Wang yang telantar rela merawat anak majikannya itu karena tertanam jiwa Pancasila di dalam jiwanya. Kalau bukan karena sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tidak mungkin Siti peduli kepada anak majikan di Taiwan yang justru sudah diabaikan oleh orang tuanya.
Ada lagi, umat Islam yang menyambut kedatangan 24 biksu Thudong asal Thailand yang melakukan perjalanan spiritual dengan berjalan kaki ke Candi Borobudur dan Candi Muaro Jambi dalam rangkaian Waisak Nasional 2568 BE/Tahun 2024. Tidak mungkin hal itu terjadi kalau tidak ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk toleransi umat beragama lain.
BACA JUGA:Regulasi yang Tepat untuk Koperasi yang Kuat di Indonesia
Fakta dari mengakarnya Pancasila yang sekaligus menjadi falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara itu membuktikan bahwa Pancasila bukanlah ideologi "kaleng-kaleng" (remeh).
Bahkan, Wamenhan AS 2001 Paul Wolfowitz menilai Indonesia akan menjadi negara yang kokoh dalam menghadapi pertarungan regional dan global, karena negara kita memiliki ideologi yang mengakar di hati bangsanya, yakni Pancasila.
Jadi, Pancasila adalah modal yang tepat sebagai landasan bersama menuju satu abad Indonesia di 2045, termasuk tepat bagi kaum beragama. Bagi Bung Karno (Ir Soekarno), Pancasila itu untuk merajut hubungan antar-anak bangsa. Bagi umat Islam, terutama umat NU, Pancasila itu bukan hanya merajut bagaimana berbangsa dan bernegara, tetapi juga merajut hubungan transendental dengan Sang Maha Pencipta Allah SWT.
Karena itulah, mentor utama pendidikan Ke-NU-an KH Abdul Mun'im Dz dalam "Tumpengan Harlah Pancasila" di Surabaya pada 1 Juni 2024 menegaskan bahwa kiai-kiai NU sudah "melampaui" Bung Karno dalam mengawal lahirnya Pancasila dan UUD 1945, bahkan sampai ada kelakar bahwa siapapun yang bisa mengamalkan dua sila saja dari Pancasila dengan konsisten, akan menjadi "wali". Intinya, Pancasila pun menjadi "milik bersama".
BACA JUGA:Aplikasi Si Duli Demi Membasmi Pungli
Saat Muktamar ke-13 di Banjarmasin pada tahun 1936 organisasi itu memutuskan bahwa Indonesia merdeka sebagai negara bangsa dan Indonesia merdeka berbentuk negara kesatuan, serta menolak khilafah yang tidak sesuai kondisi modern.
Cerita lain tentang kiai-kiai terkait Pancasila juga disampaikan oleh Kiai Mun'im Dz ketika bangsa ini ribut soal keharusan organisasi menggunakan Asas Tunggal Pancasila oleh Presiden Soeharto pada tahun 1980-an, agar bangsa ini terhindar dari paham ekstrem, baik ideologi kiri (komunis) maupun ideologi kanan (Islam) radikal.
Awalnya, banyak kiai yang menolak wacana dari Pak Harto tersebut, maka almaghfurlah KH Imron Hamzah (Ngelom, Surabaya) bersama kiai-kiai lain menghadap ke kiai yang sepuh dan hasilnya justru sangat mengejutkan, karena kiai dimaksud justru mengucap "Alhamdulillah". Kiai sepuh itu beranggapan bahwa hal itu berarti Pancasila (Indonesia) kembali kepada yang punya (umat Islam).
Sementara itu saudara kembar NU, organisasi Muhammadiyah memiliki pandangan yang kurang lebih sama. Melalui keputusan muktamar ke-47 di Makassar pada 2015, Muhammadiyah memandang Pancasila sebagai "Darul ahdi wa syahadah" yang berarti negeri yang bersepakat dengan kemasalahatan.