Revisi UU Cipta Kerja dan Peningkatan Kesejahteraan Buruh
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli saat menyampaikan keterangan seputar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai judicial review Undang-Undang Cipta Kerja, di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (4/11/2024). -Rangga Pandu Asmara Jingga-ANTARA
Serikat buruh berencana agar perhitungan pesangon bisa dikembalikan seperti dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya, di mana pekerja dengan masa kerja panjang mendapatkan kompensasi yang lebih layak. Serikat buruh juga meminta agar aturan tentang pesangon jelas dan tidak meninggalkan ruang bagi perusahaan untuk menghindari kewajibannya pada pekerja yang terkena PHK.
BACA JUGA:Melawan Judol Dengan Mengenali Faktor Pemicu
Tanggapan beragam
Putusan MK terkait revisi UU Cipta Kerja telah memicu berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Di satu sisi, serikat buruh menyambut baik keputusan ini dalam memperjuangkan hak-hak pekerja. Tapi, di sisi lain pengusaha was-was perubahan regulasi ini berimbas pada stabilitas ekonomi dan iklim investasi di Indonesia.
Serikat buruh melihat putusan MK sebagai kemenangan dalam usahanya untuk memperbaiki ketentuan-ketentuan yang selama ini dianggap merugikan pekerja. Revisi beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja, seperti pembatasan durasi kontrak kerja waktu tertentu (PKWT) dan pengaturan ketat mengenai outsourcing, dianggap sebagai respon menuju perlindungan pekerja yang lebih baik.
Keputusan ini membuka babak baru bagi pekerja untuk memperoleh hak yang lebih layak dan adil. Para buruh menyambut baik kembalinya aturan dua hari libur setiap pekan serta pengetatan prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK). Cara ini dinilai sebagai buah dari perjuangan panjang para buruh dalam memperjuangkan keadilan, lebih-lebih di tengah ketidakpastian ekonomi yang terus melanda.
Di sisi lain, kalangan pengusaha menanggapi putusan MK dengan kebimbangan yang cukup besar. Para pengusaha menilai bahwa perubahan regulasi ini bisa meningkatkan beban operasional perusahaan, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur. Sektor ini sangat bergantung pada fleksibilitas tenaga kerja untuk menjaga efisiensi biaya produksi.
BACA JUGA:Mewujudkan Pilkada Berintegritas
Pengusaha was-was bahwa pembatasan durasi kontrak kerja dan pengaturan lebih ketat tentang outsourcing akan mengurangi fleksibilitasnya dalam mengelola tenaga kerja. Hal ini dikhawatirkan bisa membuat perusahaan-perusahaan lokal kesulitan bersaing dengan perusahaan asing yang beroperasi di pasar global dengan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
Selain itu, ada kebingungan bahwa perubahan regulasi terkait upah minimum sektoral dan pesangon akan meningkatkan biaya tenaga kerja. Pengusaha menilai bahwa kenaikan biaya operasional ini bisa berakibat pada daya saing produk Indonesia di pasar internasional dan berpotensi mengurangi minat investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia.
Kendati pengusaha mendukung perlindungan hak-hak pekerja, kalangan pengusaha berharap agar kebijakan ketenagakerjaan tetap mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan buruh dan keberlangsungan bisnis. Pengusaha khawatir jika aturan ketenagakerjaan terlalu kaku, justru menurunkan produktivitas dan meningkatkan pengangguran sebab banyak perusahaan mungkin terpaksa mengurangi tenaga kerja secara besar-besaran untuk bertahan.
Masa depan ketenagakerjaan
Putusan MK tentang UU Cipta Kerja memberi waktu dua tahun bagi pemerintah untuk menyusun undang-undang ketenagakerjaan baru yang terpisah dari UU Cipta Kerja. Cara ini bermaksud untuk menghindari tumpang tindih aturan yang selama ini jadi salah satu kritik pada UU Cipta Kerja, seraya memberi kepastian hukum yang jelas bagi pekerja dan pengusaha. Walaupun, ketentuan ini dianggap sebagai tindakan, tantangan realisasi di lapangan tak bisa dipungkiri.
BACA JUGA:Embusan Angin Segar Bagi Peternak Sapi Perah
Waktu dua tahun yang diberikan MK kepada pemerintah untuk menyusun undang-undang baru ialah kesempatan penting bagi semua pihak baik buruh, pengusaha, maupun pemerintah untuk terlibat dalam proses perumusan regulasi yang adil dan seimbang. Sejatinya, undang-undang ketenagakerjaan yang baru bisa memperbaiki kelemahan dalam UU Cipta Kerja dan menciptakan kerangka hukum yang lebih bernas.
Kendati, di balik peluang tersebut ada kegamangan tentang efektivitas waktu dua tahun ini. Proses penyusunan undang-undang baru perlu dialog intensif antara pemerintah, serikat buruh, pengusaha, serta pakar hukum ketenagakerjaan. Jika tidak dilakukan dengan hati-hati, ada risiko bahwa undang-undang baru justru akan menyuburkan tumpang tindih aturan baru atau bahkan menciptakan ketidakpastian hukum yang lebih besar.
Buruh tentu berencana agar undang-undang baru bisa memperkuat perlindungan hak-haknya, sementara pengusaha menginginkan regulasi yang fleksibel untuk menjaga daya saing industri nasional. Menyeimbangkan kedua kepentingan ini jadi itikad bagi pemerintah dalam menyusun regulasi yang efektif dan adil.