Ekonom Ungkap Risiko Sosial dan Ekonomi jika Subsidi BBM Dialihkan ke BLT bagi Kelas Menengah-Bawah
Antrian Pengisian BBM di SPBU-Bianca Chairunisa-disway.id
BELITONGEKSPRES.COM - Perekonomian Indonesia masih berjuang untuk pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19, dengan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya kembali normal.
Berdasarkan data Bank Indonesia untuk Oktober 2024, Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) menunjukkan penurunan di beberapa komponen penting, seperti 'Penghasilan Saat Ini' yang turun dari 122,4 menjadi 117,9, serta komponen 'Ketersediaan Lapangan Kerja' dan 'Pembelian Barang Tahan Lama' yang juga mengalami penurunan. Kondisi ini menyoroti tantangan pemulihan ekonomi yang masih berlanjut.
Achmad Nur Hidayat, seorang Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Jakarta, menyatakan bahwa pengalihan subsidi BBM dan listrik ke bantuan langsung tunai (BLT) perlu dipertimbangkan ulang mengingat kondisi ekonomi saat ini yang belum stabil.
Menurutnya, kebijakan ini dapat berdampak negatif pada daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah-bawah. "BLT hanya mampu menutupi sebagian kecil dari kenaikan biaya hidup, terutama jika terjadi inflasi," jelasnya.
BACA JUGA:Temui Joe Biden di Gedung Putih, Prabowo Bahas Penguatan Kerja Sama hingga Situasi Gaza
Achmad menambahkan bahwa masyarakat dengan penghasilan pas-pasan akan merasakan tekanan yang lebih besar akibat kenaikan biaya hidup, sementara BLT yang diberikan mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, keputusan untuk menaikkan harga BBM sering kali memicu ketidakpuasan sosial, terutama di kalangan kelas menengah yang merasa dampak pengeluaran rumah tangga mereka semakin meningkat. Jika pengalihan subsidi ini dilakukan tanpa persiapan matang, risiko ketidakpuasan publik dan ketidakstabilan sosial bisa meningkat.
Ia juga menyoroti pentingnya efektivitas penyaluran BLT agar tidak terjadi kebocoran yang justru bisa memperparah ketidakpuasan masyarakat. "Kelas menengah yang menjadi motor penggerak ekonomi bisa semakin tertekan dengan kenaikan harga BBM," ujarnya.
Achmad merekomendasikan agar pemerintah meninjau kembali rencana ini dan mempertimbangkan kebijakan alternatif untuk menjaga daya beli masyarakat. Menurutnya, pemerintah bisa berfokus pada pengembangan infrastruktur energi terbarukan yang akan mengurangi ketergantungan pada BBM dalam jangka panjang.
Ia juga menyarankan agar masyarakat diedukasi tentang pengalihan subsidi dan pentingnya penggunaan energi yang lebih efisien, sehingga kebijakan ini dapat diterima dengan lebih baik di masa mendatang. (dis)