Hendrya Sylpana

Menakar Potensi dan Konsekuensi Ekonomi dari Keanggotaan RI di BRICS

Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024). -HO-Kemlu RI/pri.-ANTARA

Ketika AS menghadapi utang yang kian membengkak, kekhawatiran akan kebijakan fiskal dan moneter yang mungkin tidak berkelanjutan muncul. Hal ini bisa berdampak buruk bagi negara-negara yang menyimpan cadangan devisanya dalam bentuk dolar atau yang bergantung pada dolar AS untuk perdagangan internasional.

BACA JUGA:Optimisme Sepak Bola Indonesia Mendunia

Tatkala berada dalam momentum seperti inilah, inisiatif dedolarisasi menjadi relevan. Langkah ini memberikan peluang bagi negara-negara untuk mengurangi risiko dari fluktuasi ekonomi AS. Mengurangi ketergantungan pada dolar berarti negara-negara memiliki opsi untuk menyeimbangkan cadangan mereka dan menghindari keterikatan pada kebijakan AS yang bisa berdampak global.

Menukil istilah yang disampaikan ekonom Universitas Paramadina Jakarta Wijayanto Samirin, yang menyebut bahwa saat ini dunia sedang memasuki musim perubahan alias “Wind of Change”.

Meskipun Deklarasi Kazan belum mencantumkan tahapan atau target definitif untuk sepenuhnya meninggalkan dolar, arah kebijakan ini sudah terlihat jelas. Hegemoni dolar AS dalam cadangan devisa global makin terkikis seiring perubahan geopolitik yang mendorong terbentuknya blok-blok perdagangan baru, terutama pascainvasi Rusia ke Ukraina dan meningkatnya ketegangan AS-China.

Lebih lanjut, sanksi Amerika Serikat terhadap Rusia pascainvasi kian mempercepat peralihan ini, karena banyak negara makin sadar akan risiko penggunaan dolar AS sebagai instrumen politik.

BACA JUGA:Mengarusutamakan Kesetaraan Gender untuk Ekonomi Berkelanjutan

Berbagai negara pun berlomba-lomba mencari alternatif, termasuk penggunaan euro dan yuan. Sebagai contoh, Rusia dan China yang kini hampir 95 persen mengandalkan rubel dan yuan dalam perdagangan mereka. Di sektor energi, Rusia, Iran, dan Arab Saudi bersama negara-negara produsen migas lainnya mulai memelopori transaksi non-dolar AS, terutama dengan Asia dan Afrika. Konsekuensi yang mengintai

Apabila Indonesia bergabung dengan BRICS, tentu tidak luput dari sejumlah konsekuensi ekonomi maupun geopolitik. Dari sisi ekonomi, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Yeta Purnama sudah mewanti-wanti bahwa bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS dapat menunda progres aksesi Indonesia untuk bergabung dengan OECD.

Keputusan ini dapat berdampak pada prioritas Indonesia, karena menjadi anggota OECD selaras dengan visi Indonesia untuk menjadi negara maju. Bagi Indonesia, menambah komitmen multilateral dengan bergabung ke BRICS, di tengah keterbatasan sumber daya, bisa menghambat fokus pada kerja sama OECD yang dipandang lebih strategis.

Selain itu, keanggotaan BRICS juga bisa memperdalam ketergantungan Indonesia pada China. Saat ini, perdagangan dan investasi dari China ke Indonesia telah meningkat signifikan, dengan nilai impor yang melonjak 112,6 persen dalam 9 tahun terakhir. Dari 29,2 miliar dolar AS pada 2025, menjadi 62,1 miliar dolar AS pada 2023.

Tren ini dikhawatirkan memperlihatkan ketergantungan yang makin dalam. Apabila dibiarkan, berpotensi mempersempit ruang diplomasi Indonesia dan berdampak pada stabilitas ekonomi domestik jika ketergantungan tersebut berlanjut tanpa kontrol.

BACA JUGA:Mengukir Kemandirian Energi Bersih di 'Telur Emas' Bali

Sementara itu, dari segi geopolitik, kekhawatiran muncul terkait netralitas Indonesia dalam isu-isu sensitif, seperti konflik di Laut China Selatan, di mana posisi independen Indonesia bisa terganggu jika berada dalam aliansi yang dominan China.

Bergabungnya Indonesia ke BRICS pada dasarnya merupakan langkah strategis yang punya potensi untung-rugi. Di satu sisi, BRICS membuka peluang diversifikasi ekonomi dan akses ke pasar negara berkembang. Namun, di sisi lain, risiko terkait ketergantungan pada China--dan kemungkinan terpengaruh oleh dinamika internal antaranggota BRICS--bisa menantang Indonesia untuk menjaga keseimbangan dalam kebijakan luar negerinya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan