Menakar Potensi dan Konsekuensi Ekonomi dari Keanggotaan RI di BRICS
Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024). -HO-Kemlu RI/pri.-ANTARA
BACA JUGA:Perlinsos, Ikhtiar Menaikkan Kelas Masyarakat Pra-Sejahtera
BRICS memperkuat kapasitas Indonesia untuk bersikap netral dan memperluas kerja sama ekonomi tanpa tekanan dari blok ekonomi besar tertentu sehingga memberi Indonesia lebih banyak fleksibilitas untuk berinteraksi dengan berbagai negara.
Menarik lebih banyak FDI berkualitas
Syahdan, keterbukaan pasar BRICS dapat menjadi angin segar bagi investasi asing langsung alias foreign direct investment (FDI) yang berkualitas. Bagi Indonesia, peluang investasi ini mampu menjadi katalis untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Walaupun target pertumbuhan 8 persen sangatlah berat, keanggotaan dalam BRICS memungkinkan Indonesia untuk secara bertahap melecut dirinya dengan cara meningkatkan stabilitas ekonomi, mengefisienkan birokrasi, meningkatkan ketenangan berusaha, meningkatkan kualitas kerja UMKM, dan menjamin ketenangan berinvestasi pihak asing.
Secara kolektif, negara-negara BRICS memang berperan besar dalam ekonomi global. BRICS menyumbang sekitar 29 persen produk domestik bruto (PDB) global. Bahkan 40 persen produksi dan ekspor minyak mentah dunia didominasi oleh BRICS.
BACA JUGA:Deflasi Berkepanjangan: Pilih Bertahan atau Banting Setir?
Menyadur data Dana Moneter Internasional (IMF), PDB BRICS konsisten tumbuh melampaui Group of Seven (G7). Selama rentang tahun 2016--2024 saja, BRICS mencatat pertumbuhan PDB hingga 3 persen, lebih tinggi dibandingkan G7 yang hanya 1,3 persen. IMF sendiri memproyeksikan BRICS bakal terus mengalami pertumbuhan PDB sebesar 3,2 persen pada 2025. Dengan perluasan kerja sama ini, BRICS berpotensi menguasai sepertiga PDB global.
Mengacu pada proyeksi tersebut, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menjelaskan bahwa Indonesia, sebagai salah satu importir bahan bakar minyak (BBM), akan mendapat manfaat signifikan jika bergabung dengan BRICS.
Saat ini, embargo yang diterapkan Amerika Serikat terhadap minyak Rusia--akibat konflik Rusia-Ukraina--membuat Rusia kehilangan sebagian besar pembelinya di negara-negara OECD. Namun, melalui keanggotaan BRICS, Indonesia berpeluang memperoleh minyak Rusia dengan harga lebih murah.
Selain itu, keberadaan New Development Bank (NDB) juga patut menjadi pertimbangan lain. Lembaga ini bertujuan untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur di negara-negara berkembang. Apabila sah menjadi anggota, Indonesia dapat memanfaatkan sumber pendanaan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur yang krusial bagi pertumbuhan ekonomi, seperti transportasi dan energi terbarukan.
Berdasarkan data NDB Annual Report 2022, per 31 Desember 2022, NDB telah membiayai 85 proyek dengan total nilai 30,23 miliar dolar AS. Pendanaan dari NDB juga dapat membantu mengurangi ketergantungan pada lembaga keuangan internasional yang seringkali menerapkan syarat yang ketat.
Ambisi bersama dedolarisasi
BACA JUGA:Menilik Lini Bisnis Sritex Usai Pailit
Keanggotaan Indonesia dalam BRICS menghadirkan peluang strategis untuk ikut serta dalam inisiatif dedolarisasi, yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan internasional. Dengan beralih menggunakan mata uang lokal atau local currency settlement (LCT) dalam transaksi, Indonesia dapat memperkuat stabilitas ekonomi domestik dan mengurangi dampak fluktuasi dolar yang kerap memengaruhi ekonomi.
Pada KTT BRICS 2024 di Kazan, para delegasi negara anggota kembali menegaskan komitmen untuk meninggalkan penggunaan dolar dalam transaksi antarnegara BRICS.
Bagaimanapun, langkah dedolarisasi saat ini cukup penting mengingat utang pemerintah Amerika Serikat telah mencapai 35,5 triliun dolar AS pada 2024. Rasio utang AS yang tercatat 124 persen dari PDB, menunjukkan lonjakan signifikan dibandingkan tahun 2000 lalu yang masih sebesar 56 persen dari PDB. Dengan pembayaran bunga mencapai 1,2 triliun dolar AS per tahun, Amerika Serikat menghadapi beban finansial yang makin berat. Ketergantungan dunia pada dolar AS membuat situasi ini berbahaya bagi negara lain.