Menjaga Wibawa Sarjana Sebagai Penentu Kemajuan Bangsa
Sarjana bukan sekadar tentang perolehan gelar dan hura-hura pesta wisuda, melainkan apa karya dan bakti setelahnya kepada negara. ANTARA/Sizuka.--
Keinginan dan keyakinan menjadi hal penting untuk diperjuangkan, dengan atau tanpa restu orang tua. Membantah nasihat orang tua, menurut anak kekinian, bukan berarti melawan, melainkan berargumen dalam konteks kebebasan berpendapat.
Nyatanya, orang-orang yang pada akhirnya meraih sukses gemilang biasanya memiliki kombinasi antara perjuangan keras, keikhlasan pada jalan terjal yang Tuhan berikan dan doa orang tua atau keluarga. Sungguh banyak contoh sebuah acara wisuda yang menghadirkan perasaan haru-biru karena wisudawan terbaik muncul dari kalangan pejuang kehidupan.
Seperti Raeni, penerima beasiswa Bidikmisi dari pemerintah, Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Semarang (Unnes), menjadi wisudawan terbaik dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 3,96, kala itu berangkat ke lokasi wisuda diantar ayahnya menggunakan becak. Putri Mugiyono seorang pengayuh becak itu kini memperoleh beasiswa S3 dari Universitas Birmingham, Inggris. Sebelumnya ia mendapat beasiswa S2 dari kampus yang sama.
BACA JUGA:Memahami Tata Kelola Uang Negara
Cerita lain datang dari Devy Ratriana Amiati, yang dinobatkan sebagai wisudawan terbaik Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya untuk jenjang magister, pada April lalu. Peraih nilai IPK sempurna 4,00 itu bersyukur karena rida orang tua, juga suaminya mengantarkan kesuksesan dirinya.
Terima kasih atas dukungan dan restu orang tua juga terucap dari wisudawan terbaik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pada Juni lalu, Ari Putra. Mahasiswa kelahiran Bengkulu, 4 Oktober 1991, tersebut telah berhasil menyelesaikan program doktor (S3) Program Studi Pendidikan Masyarakat Fakultas Ilmu Pendidikan dalam waktu 2,5 tahun, dengan IPK sempurna 4,00.
Raeni, Devy dan Ari Putra adalah beberapa contoh sarjana membanggakan yang tetap menjunjung tinggi sikap patuhnya terhadap orang tua.
Para pribadi berprestasi yang rendah hati, dapat digadang-gadang sebagai pengabdi negeri yang mumpuni karena memiliki kebaikan dan kecerdasan asli, bukan buatan (artifisial).
BACA JUGA:Gus Dur dan puncak intelektualitas NU
Anak-anak muda, khususnya yang orang tuanya memiliki keberlimpahan finansial, perlu banyak belajar dari semangat sejumlah generasi muda dari keluarga kurang mampu, namun memiliki semangat untuk menempuh pendidikan tinggi. Menempuh pendidikan tinggi bukan sekadar untuk meraih ijazah, kemudian mencari pekerjaan. Lebih dari itu, pendidikan tinggi mengantarkan seseorang untuk memiliki sikap dan perilaku yang arif dan bijaksana menghadapi kehidupan. (ant)
Oleh Sizuka