Menjaga Wibawa Sarjana Sebagai Penentu Kemajuan Bangsa
Sarjana bukan sekadar tentang perolehan gelar dan hura-hura pesta wisuda, melainkan apa karya dan bakti setelahnya kepada negara. ANTARA/Sizuka.--
Kini sebagian generasi kiwari lebih getol memburu popularitas dan ukuran kesuksesan berorientasi pada besaran uang yang berhasil diraup dari menjual ketenaran. Media sosial menjadi ladang karier yang gampang, instan, dan dianggap menjanjikan hanya dengan menggaet pengikut (follower) sebanyak-banyaknya. Padahal keberadaan pengikut itu tidak abadi. Sedikit saja seorang selebritas medsos melakukan kesalahan dan mengecewakan warganet, mereka akan pergi meninggalkannya. Dan pundi-pundi monetisasi akan hilang karenanya.
Memang begitu rumusnya, segala yang mudah datang akan mudah juga untuk menghilang. Karier yang dibangun tidak disertai fondasi pendidikan bersifat temporer, rapuh dan gampang tumbang ketika berada di ketinggian lalu tertiup angin kencang.
Belum lama ini Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS mengungkap data bahwa sebanyak 9,89 juta generasi Z menganggur, dalam artian tidak sedang mengikuti pendidikan atau pun bekerja. Di antara pengangguran itu sebanyak 5,2 juta orang tinggal di perkotaan dan 4,6 juta orang berada di perdesaan. Angka dari perkotaan justru lebih besar, disinyalir sebagian dari mereka tengah berkarier di media sosial, baik sebagai pemengaruh maupun sebagai kreator konten.
BACA JUGA:Saat Lelang Tanah Beralih ke Platform Digital
Uang dan popularitas begitu memikat generasi kini karena menjanjikan kehidupan gemerlap, sesuatu yang menghadirkan kesenangan. Gengsi dan gaya menjadi hal utama yang perlu diperjuangkan pemenuhannya.
Sementara orang tua masih berpegang teguh pada nilai-nilai substantif, seperti spiritualitas, idealisme, budi pekerti, adab, dan hal-hal fundamental lain, termasuk pentingnya pendidikan.
Dari perbedaan pandangan antara generasi anak dan orang tua itulah perselisihan kerap tersulut. Orang tua dengan segenap cintanya pada anak-anak mengkhawatirkan masa depan mereka jika tanpa fondasi pendidikan. Sementara sang anak menganggap sikap mengikuti harapan orang tua sebagai sesuatu yang berlebihan. Karena, menurut mereka, ilmu bisa dicari di mana saja, tidak harus duduk bertahun-tahun di bangku kuliah. Begitu cara berpikir generasi penganut segala yang instan dan penyuka jalan pintas.
Bagaimana pun kampus adalah institusi pendidikan yang menerapkan kurikulum secara terprogram dengan pengampu mata kuliah para pengajar yang tentu saja berkompeten karena telah memenuhi kualifikasi tertentu dan terakreditasi, sehingga akan meluluskan seorang ahli.
BACA JUGA:Program DeBest Jiwa Implementasi Pencegahan Stunting Anak 0-24 Bulan
Kecerdasan dan kebaikan
Ada orang tua dengan harta berkecukupan, memiliki keinginan kuat agar anaknya sekolah setinggi-tingginya, tapi obsesi itu tidak berbalas karena sang anak menyukai jalan lain untuk menggapai sukses, tanpa harus bersusah payah kuliah. Tidak jarang pula, mahasiswa yang sudah lolos perguruan tinggi negeri bergengsi, meninggalkan kuliahnya di tengah jalan hanya karena alasan tidak sesuai passion.
Pada bagian lain, ada anak yang begitu gigih ingin belajar di bangku pendidikan tinggi, tapi kondisi ekonomi orang tuanya tidak mendukung. Kuliah menjadi sesuatu yang sangat mewah untuk mereka perjuangkan.
Begitulah, setiap orang memiliki jalan terjalnya masing-masing. Ada yang berlimpah fasilitas, sayang tidak memiliki kemauan, sedangkan yang punya kemauan kuat tidak disertai kemampuan.
BACA JUGA:Melestarikan Bahasa Sentani dari Sekolah
Dahulu, seorang anak selalu mengutamakan restu dan rida orang tua di atas segalanya, karena percaya hal itu akan mengantarkannya pada keberhasilan dan keberkahan. Bahkan, anak rela menjalani kuliah yang (mungkin) tidak sesuai dengan minatnya, ditekuninya hingga lulus, demi menyenangkan hati orang tua. Sebuah pengorbanan yang anak sekarang sudah enggan lakukan.