Mengamati Konteks Super Diversitas (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)
Ares Faujian, America Field Service Educator dan Juara Nasional Guru Dedikatif & Inovatif Kemdikbudristek RI--
Diversitas yang kita temui di masyarakat bagaikan fenomena gunung es. Apa yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan keberagaman yang ada. Di balik penampilan luar seseorang, terdapat identitas yang jauh lebih kompleks. Artinya, seseorang tidak melulu memiliki satu atau dua identitas saja, bahkan lebih, tergantung lingkungan pembentuknya. Misalnya, seseorang pria bisa saja memiliki identitas dengan lahir di Indonesia, bersuku Melayu, beragam Islam, berbahasa Jawa, berdomisili di Yogyakarta, sudah menikah, kerja di Jepang, dsb.
Tidak semua ciri identitas seseorang bisa diidentifikasi secara visual. Misalnya, akan sangat sulit mengidentifikasi apakah seseorang introver atau ekstrover hanya dari penampilannya saja. Begitu pula dengan tingkat pendidikan seseorang, orientasi seksual, atau keyakinan mereka terhadap sesuatu. Hal ini menunjukkan betapa terbatasnya kemampuan kita dalam membaca identitas hanya berdasarkan tanda-tanda visual yang ada. Zygmunt Baumann (2000) dalam Liquid Modernity berasumsi, kita hidup di dunia yang semakin terhubung secara global, tetapi identitas individu kadang tak dapat dilihat secara langsung.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk berhati-hati dalam menafsirkan simbol-simbol di masyarakat. Terlalu sering kita membuat asumsi tentang seseorang berdasarkan hal-hal yang terlihat di permukaan. Padahal, di balik setiap simbol yang kita lihat, ada banyak cerita yang lebih mendalam. Yang mana, hal ini mungkin tidak kita ketahui jika kita hanya melihat dengan mata, bukan dengan hati dan pikiran terbuka. Pierre Bourdieu (1984) mengutarakan bahwa simbol sosial adalah refleksi dari kekuatan dan hubungan kuasa yang ada di masyarakat.
BACA JUGA:Ketika Zona Nyaman Menjadi Perangkap (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)
Dalam konteks ini, identitas manusia bisa dianalogikan dengan bunga yang memiliki banyak kelopak, yang merupakan simbol-simbol sosial. Setiap kelopak bunga bisa diisi dengan status identitas seseorang, sehingga membentuk satu utuh bunga dengan identitas yang beragam. Metafora bunga ini membantu kita memahami bahwa identitas manusia, yakni terbentuk dari berbagai elemen yang kompleks dan saling memengaruhi. Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949) mengingatkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang diwariskan, melainkan diciptakan dan dibentuk melalui interaksi dengan dunia sosial.
Super-Diversity
Vertovec (2007) mendefinisikan super-diversity sebagai fenomena baru dalam keberagaman masyarakat modern, yang mana perbedaan tidak lagi hanya terjadi di satu atau dua dimensi, tetapi menyebar dalam berbagai aspek kehidupan. Ini mencakup variasi bahasa, agama, status migrasi, orientasi seksual, hingga pekerjaan, yang semuanya berinteraksi dalam cara-cara yang tidak selalu kita sadari. Vertovec menggambarkan hal ini memunculkan tantangan bagi masyarakat untuk memahami bahwa keberagaman bukanlah sesuatu yang sederhana dan linear. Keberagaman lingkungan di sekitar kita adalah refleksi dari proses migrasi global dan perubahan sosial, kata Steven Vertovec (2007), yang memperkenalkan konsep super-diversity dalam studi migrasi dan multikulturalisme.
Konsep super-diversity ini memberikan kita kerangka untuk memahami kompleksitas keberagaman dalam masyarakat. Di era globalisasi, orang dari berbagai latar belakang budaya, etnis, dan sosial semakin kerap berinteraksi, sehingga menciptakan dinamika yang penuh warna. Kita tidak lagi bisa melihat dunia dengan pandangan yang sempit. Artinya kita harus siap untuk menghadapi kenyataan bahwa keberagaman lebih luas dan lebih dalam dari yang kita bayangkan.
BACA JUGA:Meningkatkan Literasi dan Karakter Siswa melalui Program 'SENYUM' di SDN 5 Manggar
Indonesia sebagai negara dengan populasi yang beragam ialah contoh konkret dari super-diversity atau super diversitas ini. Di sini, kita bisa melihat bagaimana masyarakat dari berbagai suku, agama, dan latar belakang hidup berdampingan. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Makassar atau Medan, dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai daerah yang membawa budaya dan bahasa mereka sendiri. Hal ini menciptakan mosaik sosial yang kaya dan beragam.
Dalam konteks ini, masyarakat menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal integrasi sosial, diskriminasi, dan kebijakan publik. Vertovec menjelaskan bahwa super-diversity bukan hanya soal jumlah imigran yang datang, tetapi juga tentang kompleksitas kombinasi faktor-faktor yang menciptakan pola baru dalam masyarakat (Vertovec, 2007). Hal ini memperlihatkan perlunya pendekatan yang lebih cermat dalam memahami dinamika keragaman di masyarakat modern.
Di sisi lain, super diversitas membawa peluang besar bagi inovasi, pengayaan budaya, dan perluasan jaringan global. Masyarakat dengan latar belakang berbeda dapat menghasilkan ide-ide kreatif dan menciptakan lingkungan yang lebih dinamis. Keragaman budaya memperkaya seni, kuliner, dan festival yang memperkuat nilai-nilai pluralisme. Menurut Levy et al. (2020), super diversitas dapat menjadi aset jika dikelola dengan baik, menciptakan kohesi sosial dan memperluas peluang ekonomi. Oleh karena itu, tantangan dan peluang ini menuntut kebijakan yang tepat dan pendekatan lintas sektor untuk memastikan bahwa super diversitas menjadi kekuatan positif dalam masyarakat global saat ini.
BACA JUGA:Calon Tunggal Tidak Mengurangi Makna Demokratis Pilkada
Sebagai pendidik, super diversitas atau keberagaman super ini juga tampak di sekolah-sekolah ataupun di ruang kelas. Di sini, kita bisa menemukan siswa dari berbagai latar belakang etnis, agama, hingga status sosial. Guru dan peserta didik harus belajar untuk memahami dan menghargai perbedaan-perbedaan ini. Hal ini dikarenakan dalam lingkungan pendidikan, keberagaman menjadi peluang untuk tumbuh dan belajar bersama. Namun juga bisa berpotensi melahirkan gesekan pertikaian, perundungan, hingga konflik berkepanjangan.
Keberagaman ini juga bisa dalam melihat wajah guru dan pegawai di sekolah, apakah di setiap satuan pendidikan sudah menerapkan kesetaraan? Dan bagaimana keragaman ini diakui dan dihargai (dalam hal gender, sosial-ekonomi, ras, etnis, bahasa, latar belakang budaya dan agama) dalam kebijakan/ strategi/ visi sekolah?