Hendrya Sylpana

Mengamati Konteks Super Diversitas (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)

Ares Faujian, America Field Service Educator dan Juara Nasional Guru Dedikatif & Inovatif Kemdikbudristek RI--

Dalam setiap langkah kecil di kehidupan sehari-hari, manusia tak pernah lepas dari rutinitas yang berulang, seperti bangun di pagi, bertemu keluarga, tetangga atau teman, hingga melihat serta melakukan berbagai interkasi sosial. Dengan ritme seperti itu setiap hari, kita senantiasa dihadapkan pada keberagaman, yakni perbedaan yang hadir tanpa disadari, entah dalam bentuk bahasa, gaya hidup, hingga kepercayaan.

Kita hidup dalam dunia yang plural. Perbedaan-perbedaan tak hanya sebatas ras dan etnis semata. Namun merentang hingga cara pandang, keyakinan, bahkan cara manusia menafsirkan dunia di sekelilingnya. Stuart Hall (1996) selaku teoritikus budaya mengatakan, diversitas atau keberagaman ini ialah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial kita. Tidak ada identitas yang statis, karena semua identitas dibentuk melalui interaksi dengan yang lain.

Salah satu pengalaman yang memperkaya pemahaman akan keberagaman ini ialah melalui program America Field Service (AFS) Global STEM Educators 2024, khususnya dalam materi “Observe Your Context.” Program ini bertujuan untuk mengasah kemampuan peserta dalam melihat dunia dengan kacamata baru, yakni mengamati tak hanya di permukaan (yang terlihat), namun juga kedalaman konteks di sekeliling kita. Materi ini menantang para pendidik berbagai negara pada program ini untuk melatih mata dan hati dalam memahami perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat, yang terkadang hal ini tak terlihat secara kasat mata. Melalui eksplorasi ini, kita diingatkan untuk lebih responsif terhadap atmosfer perbedaan yang ada di masyarakat.

Simbol Sosial

BACA JUGA:Meluruskan Kesalahpahaman Soal Merdeka Belajar

Di jalanan yang ramai, kita mungkin bertemu dengan berbagai orang dari latar belakang yang berbeda. Misalnya pengemudi ojek yang berbicara dalam logat daerah tertentu, pedagang yang menjual makanan dari berbagai budaya, atau anak-anak yang bermain dengan menggunakan bahasa campuran. Semua ini adalah cermin dari keberagaman di lingkungan kita. Namun terkadang, lingkungan ini hanya kita lihat dari permukaan, tanpa memahami kompleksitas di baliknya. 

Simbol-simbol keberagaman tersebut juga hadir dalam bentuk-bentuk kecil lainnya di sekitar kita. Misalnya cara berpakaian, pilihan makanan, hingga bahasa tubuh. Sebuah jilbab yang dikenakan seseorang, atau tato yang terlihat di lengan orang lain, ialah representasi dari identitas, budaya, atau keyakinan seseorang. Akan tetapi, tanda atau simbol-simbol ini tak selalu sederhana untuk dipahami. Kita acap kali cenderung menafsirkan simbol-simbol ini secara otomatis, berdasarkan pengetahuan atau pengalaman kita sendiri. Clifford Geertz dalam bukunya The Interpretation of Cultures (1973) mengungkapkan bahwa simbol ialah kode sosial yang digunakan untuk menyampaikan makna, tetapi makna tersebut bisa ditafsirkan secara berbeda oleh setiap individu.

Menurut Anda, simbol-simbol apa yang Anda temukan terkait dengan kelompok-kelompok identitas di sekitar Anda? Temuan apa yang mengejutkan? Simbol-simbol apa saja yang mudah dikenali? Simbol mana yang tidak dapat dihubungkan dengan kelompok identitas tertentu? Di wilayah Anda, mana daerah yang dapat ditemukan simbol-simbol yang sama sekali berbeda? Mengapa? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk kita ketahui dalam memahami dan memaknai simbol sosial dalam keberagaman yang ternyata sangatlah besar.

BACA JUGA:Zaken Kabinet dalam Mewujudkan Pemerintahan Adil dan Transparan

Cara seseorang menafsirkan simbol-simbol di masyarakat bisa jadi tidak akurat. Misalnya, seseorang yang mengenakan pakaian adat tertentu mungkin diasosiasikan dengan budaya tertentu, padahal bisa jadi mereka hanya mengenakannya untuk tujuan estetika. Coba bayangkan seseorang warga Filipina yang mengenakan kemeja batik. 

Orang-orang yang tahu dengan asal batik, akan percaya bahwa warga Filipina itu berasal dari Indonesia. Hal ini diperkuat pula dari ciri fisiknya sama dengan ciri fisik orang Indonesia. Namun ternyata, orang yang mengenakan batik tidak selalu memahami atau mengidentifikasi dengan sejarah budaya tersebut. Bisa jadi mereka hanya menyukai motif dan warna batik karena estetika, tanpa memiliki keterikatan emosional atau budaya dengan Indonesia.

Tidak semua simbol bisa digeneralisasi, terutama ketika simbol tersebut diambil dari satu konteks dan diterapkan di tempat lain. Sebuah simbol yang dianggap sakral di satu budaya, bisa jadi hanya dianggap sebagai elemen dekoratif di budaya lain. Menurut Roland Barthes (1967), simbol memiliki makna ganda, yakni denotasi (makna literal) dan konotasi (makna kultural), dan keduanya tidak bisa dipisahkan dalam interpretasi sehari-hari.

Jadi, pernahkah Anda disalah kenali sebagai anggota kelompok lain? Sinyal atau simbol visual apa yang salah dibaca oleh orang lain? Pernahkah Anda melakukan kesalahan serupa?  Apa yang terjadi? 

BACA JUGA:Pengaplikasian Teori Segitiga Cinta Dalam Meningkatkan Semangat Belajar Anak SMA

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan