Kontroversi Kemasan Polos Rokok: Dampak Kebijakan Kemenkes pada Industri Ritel
Ilustrasi penjual rokok. Dok JawaPos--
BELITONGEKSPRES.COM - Pelaku usaha ritel saat ini menghadapi kekhawatiran besar terkait kebijakan baru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mengusulkan standardisasi kemasan rokok tanpa merek melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
Kebijakan ini dinilai akan menambah beban pada penjualan produk tembakau, yang merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi banyak peritel.
Ketua Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Tutum Rahanta, mengungkapkan bahwa kebijakan ini lahir dari kurangnya partisipasi publik yang konstruktif, sehingga menyebabkan berbagai penolakan dan ketidakpuasan dari berbagai pihak yang terdampak.
“Peraturan ini banyak mendapat penolakan karena banyak pihak yang merasa dirugikan. Jika tidak ada kerugian, tidak mungkin ada pertentangan,” ujar Tutum pada 16 September 2024.
BACA JUGA:Regulasi Kemasan Polos Produk Hasil Tembakau Berpotensi Memicu Peredaran Rokok Ilegal
BACA JUGA:Presiden Jokowi Resmikan Hutan Wanagama Nusantara sebagai Pusat Pendidikan dan Penelitian di IKN
Tutum juga mengkritik kebijakan kemasan polos rokok tanpa merek atau plain packaging, dengan menyebutkan bahwa kebijakan ini akan menyebabkan kebingungan saat pembelian dan dapat memperburuk masalah dengan meningkatnya peredaran rokok ilegal.
Selain itu, kebijakan ini dianggap melanggar hak konsumen untuk memperoleh informasi yang jelas tentang produk yang mereka beli.
Peritel, menurut Tutum, telah berkomitmen untuk mencegah penjualan rokok kepada anak-anak, namun tidak mendapat dukungan atau sosialisasi dari Kemenkes. Komitmen ini muncul dari kesadaran dan inisiatif industri tembakau, bukan dari kebijakan pemerintah.
Tutum juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi peritel akibat kebijakan ini, seperti sulitnya membedakan produk di pasar.
BACA JUGA:Kasus Kopi Sianida: Jessica Wongso Akui Trauma Tawarkan Makanan dan Minuman ke Orang Lain
Ia menilai kebijakan plain packaging akan semakin mempersulit peritel, terutama setelah pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain anak sebagaimana diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2024.
"Peraturan ini membingungkan karena belum ada definisi yang jelas mengenai tempat yang bisa dijadikan tempat bermain anak. Ini juga tidak didukung oleh fasilitas yang memadai dari pemerintah,” jelas Tutum.
Tutum menambahkan bahwa perubahan ini mengancam keberlangsungan usaha penjualan tembakau yang selama ini telah berjalan sesuai aturan. Ia menyatakan bahwa implementasi aturan ini di lapangan akan menghadapi banyak kendala.