Mata Air Keberagaman Budaya dan Identitas Manusia (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)

Ares Faujian--

BACA JUGA:Menciptakan Pekerjaan Layak untuk Semua

Salah satu unsur penting dari budaya ialah bahasa. Bahasa sudah berkembang selama ratusan hingga ribuan tahun lalu. Ia digunakan tidak hanya sebagai alat komunikasi, namun juga mendeskripsikan cara berpikir dan bertindak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Versi 6, secara linguistik, bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. 

Setiap negara dan daerah mengembangkan bahasanya masing-masing. Keberadaan bahasa ini dapat mencerminakan bahkan memprediksi perilaku sosial dan kultur masyarakatnya. Misalnya bahasa Jepang. Bahasa negara ini memiliki banyak bentuk penghormatan tergantung pada status sosial lawan bicara, yang artinya mencerminkan kultur Jepang yang begitu menghargai hierarki, usia dan kesopanan. Termasuk juga suku Jawa yang ada di Indonesia. Dalam ihwal ini, memahami bahasa berarti memahami cara berpikir, nilai dan kaidah suatu budaya.

Tidak ada budaya yang salah atau benar. Setiap budaya hanya berbeda sesuai kondisi dan faktor yang membentuk hingga yang memengaruhinya. Pengalaman program AFS mengajarkan penulis bahwa perbedaan kultural tidak boleh dilihat sebagai hierarki, melainkan sebagai variasi yang memperkaya pengalaman manusia. Antropolog Franz Boas mengajarkan betapa pentingnya relativisme budaya dalam memahami perbedaan. Semua budaya memiliki nilai-nilai intrinsik yang perlu dihormati (Boas, 1940).

BACA JUGA:Artificial Intelligence dan Tantangan Jurnalistik Masa Kini

Dari materi “Cultural and Identity” dari program AFS (2024), budaya dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu budaya yang terlihat (visible) dan budaya yang tidak terlihat (invisible). Seperti fenomena gunung es budaya atau the iceberg cultural (Hall, 1976), hanya sebagian kecil dari budaya yang dapat kita lihat atau tampak pada mata. Misalnya pakaian, makanan, musik, hingga cara salam. Ihwal ini ialah aspek kultural yang jelas dan tentu saja acap kali mudah dikenali. Contohnya, pakaian tradisional kimono di Jepang, atau makanan khas rendang dari suku Minangkabau Indonesia ialah representasi budaya yang terlihat.

Akan tetapi, di bawah permukaan, terdapat aspek-aspek budaya yang tak terlihat. Hal ini seperti nilai-nilai, kepercayaan, hubungan antargenerasi, konsep kecantikan, peran gender, dll. Ini adalah komponen yang menjadi fondasi dalam berinteraksi dan mencerminkan perspektif yang lebih dalam. Misalnya mengenai konsep kecantikan yang berbeda-beda di tiap negara.

Di Korea Selatan, konsep kecantikan melalui kulit putih dan wajah berbentuk V dianggap ideal. Namun di Afrika, konsep kecantikan lebih pada bentuk tubuh yang penuh. Karena hal ini melambangkan kemakmuran dan kesehatan. Bagian ini tergolong sulit dipahami, tetapi sangat penting untuk memaknai esensi budaya tersebut.

Untuk benar-benar memahami budaya, kita harus melampaui yang terlihat dan menjelajahi nilai-nilai fundamental dari kultur masyarakat. Fenomena gunung es budaya ini menunjukkan bahwa bagian yang tidak terlihat dari budaya kerap kali lebih besar dan lebih kompleks daripada apa yang tampak di permukaan. Edward T. Hall (1959) mengungkapkan, budaya ialah sesuatu yang ada di bawah permukaan, membentuk cara kita melihat dan memahami dunia.

BACA JUGA:Menjaga Kelas Menengah untuk Ekonomi yang Stabil

Bunga Identitas

Menurut KBBI Versi 6, identitas diartikan jati diri. Melihat perbedaan melalui lensa identitas membuka wawasan baru tentang bagaimana kita memandang diri sendiri dan orang lain. Identitas merupakan kumpulan karakteristik yang membedakan individu satu sama lain, termasuk di dalamnya ada bahasa, agama, etnis, ras, hingga gender. Seperti halnya budaya, identitas tidak statis; ia berkembang seiring waktu. Ahli teori budaya, Dr. Stuart Hall, mengungkapkan bahwa identitas terbentuk dan berubah sepanjang waktu, melalui hubungan kita dengan budaya, sejarah, dan masyarakat (Hall, 1990).

Ilustrasi metafora "bunga" sangat tepat menggambarkan ihwal identitas manusia. Setiap kelopak bunga mencerminkan elemen-elemen tertentu dari identitas seseorang, seperti bahasa, kewarganegaraan, suku, ras, agama, profesi, jenis kelamin, hingga status perkawinan. Jika dilihat secara komprehensif, ilustrasi bunga tersebut menunjukkan diversitas identitas yang membentuk jati diri dan kekhususan individu. Sebagai contoh, seseorang mungkin memiliki identitas sebagai muslim, perempuan, suku Sunda, warga negara Indonesia, dan juga seorang sarjana, yang mana semuanya ini membentuk suatu identitas unik sebagai manusia serta budayanya. 

Setiap anggota masyarakat mempunyai "bunga" identitas yang berbeda-beda, walaupun berasal dari latar belakang yang serupa. Faktor-faktor seperti lingkungan sosial, migrasi, hingga perubahan sosial bisa memengaruhi komposisi "bunga" tersebut. Inilah yang membuat setiap individu berbeda dalam konteks budaya dan identitas. Sebagai contoh, generasi muda Indonesia yang hidup di diaspora biasanya menggabungkan unsur-unsur budaya asal (Indonesia) dengan budaya negara tempat mereka tinggal. Proses akulturasi ini menciptakan "bunga" identitas yang semakin unik dan beragam. Apalagi mereka menikah dengan warga negara asing. 

BACA JUGA:Melihat Transisi Energi di China Bagian Timur

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan