Menatap Masa Depan Energi Surya di Indonesia
Petugas memeriksa panel surya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (1/8/2024). PLTS IKN yang saat ini telah beroperasi dengan kapasitas 10 MW itu akan memasok 100 persen kebutuhan listrik untuk upacara--
Realisasi dan pengembangan energi terbarukan
BACA JUGA:RUU Kilat Pilkada dan Putusan MK
Menurut data Kementerian ESDM, realisasi kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan Indonesia pada 2023 mencapai 13.155 MW atau 13,16 GW.
Kapasitas terbesar berasal dari tenaga air (PLTA) sebesar 6.784 MW, bioenergi 3.195 MW, dan panas bumi 2.417 MW. Sementara itu, potensi energi surya sangat besar, yaitu 3.300 GW, namun baru terealisasi sebesar 573 MW.
Adapun penambahan kapasitas PLTS pada 2023 mencapai 290,69 MW, yang terdiri dari PLTS ground mounted 30,09 MW, PLTS atap 68,06 MW, dan PLTS terapung 192,54 MW.
Untuk mendongkrak pemanfaatan energi surya, Pemerintah saat ini tengah memacu pengembangan PLTS sebagai salah satu solusi energi terbarukan.
PT PLN (Persero) baru-baru ini menandatangani perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBTL) dengan perusahaan pembangkit listrik asal Arab Saudi, ACWA Power, untuk pengembangan PLTS Terapung Saguling di Waduk Saguling, Jawa Barat, dengan kapasitas 60 MW, yang diharapkan mulai beroperasi pada 2025.
BACA JUGA:Siapapun Pemenangnya, Pilkada 2024 akan Cetak Sejarah Baru di Belitung Timur
Proyek serupa juga akan dikerjakan di Danau Singkarak, Sumatera Barat dengan kapasitas 50 MW, dan Karangkates, Malang, Jawa Timur yang memiliki kapasitas 100 MW.
Indonesia memiliki potensi pengembangan PLTS terapung, yang dapat dibangun di atas danau dan bendungan di sekitar 325 lokasi di Indonesia. Mengutip data jumlah bendungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), PLTS terapung dapat dikembangkan di 259 lokasi bendungan dengan potensi kapasitas mencapai 14,7 GW.
Tantangan dan solusi
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyoroti tantangan pengembangan energi terbarukan, seperti PLTS yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. Oleh karena itu, PLTS membutuhkan pembangkit konvensional sebagai cadangan daya saat malam hari, yang secara signifikan dapat meningkatkan biaya operasional.
“Masalahnya bukan hanya emisi, melainkan juga biaya. Bayangkan saja, kalau kita punya PLTS 5 GW, kita juga butuh pembangkit lain sebesar 5 GW sebagai cadangan. Artinya, kita harus mengeluarkan biaya dua kali lipat untuk menghasilkan listrik yang sama,” katanya.
BACA JUGA:Bersiap dengan Aturan Baru Pajak Kripto
Untuk itu, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) membutuhkan komitmen kuat, bahkan perlu intervensi lebih jauh dari Pemerintah. Apalagi pengembang EBT di Indonesia dihadapkan pada kondisi pasar yang tidak seimbang dan situasi high risk, low return.