Menimbang Opsi Terbaik Untuk Menjaga Kestabilan Rupiah
Petugas memeriksa tumpukan uang tunai di Pooling Cash Plaza Mandiri, Jakarta Selatan, Selasa (9/1/2024). (ANTARA FOTO/Rizka Khaerunnisa/sgd/tom.)--
“Saat ini, fundamental ekonomi yang cukup solid masih mengindikasikan Indonesia masih bisa tumbuh kisaran 5 persen di tahun ini. Jadi, pasar Indonesia masih cukup menarik dan ketika nanti sentimen risk-on meningkat, Indonesia berpeluang untuk menerima capital inflow,” kata Faisal.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menegaskan bahwa fundamental perekonomian Indonesia cukup kuat yang ditunjukkan dari pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen dan inflasi yang masih terjaga. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian tumbuh 5,05 persen year on year (yoy) sepanjang tahun 2023. Sedangkan tingkat inflasi tahunan pada Maret 2024 sebesar 3,05 persen yoy.
Merespons kondisi terkini, Airlangga pun menggarisbawahi pentingnya menjaga stabilitas keuangan terutama dalam hal ini untuk mengantisipasi dampak konflik antara Iran dan Israel yang menyebabkan kemerosotan nilai tukar mata uang terhadap dolar AS.
Dampak pelemahan rupiah
Pelemahan rupiah yang terus berlanjut akan memberikan dampak langsung pada sektor-sektor yang banyak melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan input produksi seperti industri makanan dan minuman (mamin), farmasi, dan kimia.
Merespons pelemahan rupiah yang terjadi belakangan, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) pun berharap BI dapat segera melakukan intervensi untuk memulihkan nilai tukar rupiah sehingga dampak terhadap sektor mamin tidak terlalu berat.
Pasalnya, harga pokok produksi dan biaya logistik di sektor mamin turut terpengaruh akibat pelemahan rupiah. Hal ini mengingat pelaku usaha memerlukan banyak bahan baku yang harus diimpor.
BACA JUGA:Termakan Janji Manis Eksistensi Timah, Sikaya Berubah jadi Miskin
BACA JUGA:Irigasi Memadai Kunci Pencapaian Ketahanan Pangan Indonesia
Di sisi lain pada sektor perbankan, fluktuasi nilai tukar yang moderat tidak memberi pengaruh signifikan terhadap bisnis pelaku industri perbankan.
Dari pihak perbankan, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) misalnya, menyampaikan keyakinannya bahwa regulator dan pemerintah selalu merespons pergerakan nilai tukar rupiah yang terjadi secara terukur, sehingga hal tersebut tidak berpengaruh negatif terhadap industri perbankan.
Apabila pelemahan rupiah terus berlanjut, bank-bank yang memiliki portofolio bisnis luar negeri dalam porsi besar atau terkait kegiatan treasury, trade financing, dan international banking yang berhubungan erat dengan valas, kemungkinan akan merasakan dampaknya secara langsung.
Namun data terakhir menunjukkan, eksposur neto untuk valas di perbankan masih terbilang kecil dengan rasio posisi devisa neto (PDN) yang sebesar 1,44 persen di akhir tahun 2023 atau masih jauh di bawah ambang batas atau threshold 20 persen.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menilai penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) valas terhadap total DPK di industri perbankan saat ini juga masih relatif rendah. Begitu pula dari sisi penyaluran kredit dalam valas.
Oleh sebab itu, industri perbankan tidak terkena dampak signifikan atas pelemahan rupiah yang terjadi belakangan dan laba bank juga tidak ikut tergerus. Namun risiko lain juga bisa muncul, yaitu peningkatan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) pada bank-bank yang menyalurkan kredit valas dalam porsi besar, terutama ke sektor-sektor yang rentan terhadap pelemahan ekonomi global.