Gelar Pahlawan dan Rekonsiliasi Nasional
Adik aktivis buruh Marsinah, Wijiyati, mencium foto kakaknya usai mengikuti upacara pemberian gelar pahlawan kepada Marsinah dan sembilan tokoh lainnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025)-ANTARA FOTO-Aditya Pradana Putra/bar
Presiden Prabowo Subianto baru saja menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa.
Di antara mereka, terdapat tiga nama yang sempat memantik kontroversi yakni HM Soeharto, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Marsinah (aktivis buruh). Ketiganya berasal dari latar sejarah dan ideologi yang berbeda.
Dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional kepada tiga figur tersebut tentu saja menarik, mengingat ketiganya hidup dan berjuang di masa yang hampir bersamaan, yakni di masa Orde Baru.
Posisi tiga tokoh tersebut terhadap kekuasaan sangatlah beragam, bila tidak bisa dikatakan saling silang. Oleh karena itu penghargaan yang disampaikan Presiden Prabowo, bisa dijadikan momentum bagi rekonsiliasi bangsa.
Rekonsiliasi nasional adalah keniscayaan, yang diperlukan untuk menyatukan kembali pembelahan yang sempat terjadi pada masyarakat. Konsep rekonsiliasi sebagian terbesar terinspirasi oleh Nelson Mandela, tokoh terkemuka Afrika Selatan.
BACA JUGA:Membeli Status Berkelas dari Baju Bekas
Setelah dibebaskan dari penjara, Nelson Mandela berperan penting dalam mendorong rekonsiliasi nasional di Afrika Selatan.
Ia memilih jalur dialog dan mengajak seluruh kelompok masyarakat, tanpa memandang ras, untuk bersama-sama membangun negara yang demokratis dan inklusif.
Mandela menjadi simbol keberhasilan rekonsiliasi dan demokrasi, serta menginspirasi dunia dalam memperjuangkan perdamaian dan keadilan sosial.
Optimisme masa depan
Mandela tidak hanya mengajak seluruh kelompok masyarakat untuk berdialog, tetapi juga mendorong mereka menjadi bagian dari pengambilan keputusan dalam sistem demokrasi baru.
Istilah rekonsiliasi pada mulanya berkembang sebagai kerangka analisis untuk membaca resolusi konflik yang terjadi di sejumlah negara, seperti Afrika Selatan, juga negara-negara wilayah Balkan, baik yang mengalami fase transisi demokrasi maupun konflik etnik, agama, dan kelas sosial.
BACA JUGA:Perjalanan Panjang Bilqis di Lingkaran TPPO Bermodus Adopsi
Dalam situasi konflik seperti itu, rekonsiliasi tidak hanya dipandang perlu untuk menyatukan masyarakat yang terbelah, namun juga diyakini sebagai sarana penting untuk mewujudkan demokrasi dan kesejahteraan sosial.
Rekonsiliasi menjadi fase krusial, mengingat tiga figur dimaksud memiliki posisi berbeda, dan boleh disebut unik dalam sejarah Indonesia.