Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

Gelar Pahlawan dan Rekonsiliasi Nasional

Adik aktivis buruh Marsinah, Wijiyati, mencium foto kakaknya usai mengikuti upacara pemberian gelar pahlawan kepada Marsinah dan sembilan tokoh lainnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025)-ANTARA FOTO-Aditya Pradana Putra/bar

Soeharto adalah pusat orbit politik Indonesia selama lebih dari 32 tahun.

Ia memimpin dengan visi stabilitas dan pembangunan ekonomi yang membawa Indonesia keluar dari krisis selepas era Orde Lama. Dalam pemerintahannya, ada pembangunan SD Inpres secara masif, jalan-jalan dibuka, sawah diperluas, dan swasembada pangan dicapai.

Namun, stabilitas itu juga menuntut harga yang mahal yaitu kebebasan politik yang ditekan, suara-suara kritis yang dibungkam, dan keadilan sosial yang tak selalu merata.

Pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya tentu menimbulkan pro dan kontra. Meskipun demikian, Soeharto tetap menjadi figur yang tak bisa dihapus dari narasi besar Indonesia modern.

BACA JUGA:Sinergi Dua Arah Reformasi Polri Menuju Kepercayaan Publik

Tokoh kedua, Gus Dur, adalah sosok yang berdiri di antara kekuasaan dan perlawanan. Sosok yang selalu menyuarakan pluralisme, kebebasan beragama, dan demokrasi jauh sebelum reformasi bergulir.

Sebagai tokoh Nahdlatul Ulama, Gus Dur tidak menentang Orde Baru secara frontal, tetapi senantiasa menolak untuk tunduk.

Saat reformasi tiba pada 1998, Gus Dur menjadi simbol penyembuhan nasional yang mencoba menghapus luka masa lalu dengan humor, empati, dan keterbukaan. Dalam konteks Orde Baru, Gus Dur adalah oposisi moral yang menyalakan lentera di tengah kegelapan kekuasaan.

Sementara Marsinah, berbeda posisi dengan Soeharto dan Gus Dur. Dia jauh dari lingkaran kekuasaan. Marsinah adalah representasi jutaan buruh yang menjadi tulang punggung pembangunan Orde Baru.

Marsinah menjadi simbol keberanian setelah memperjuangkan hak-hak pekerja, hingga tewas pada 1993.

Perjuangan Marsinah menyalakan api kesadaran baru tentang pembangunan;   pembangunan tanpa kemanusiaan hanyalah mesin yang kehilangan arah. Marsinah menjadi wajah “rakyat kecil” yang melawan dengan suara, bukan senjata.

BACA JUGA:AI yang Haus: Krisis Air di Balik Revolusi Digital

Hampir tiga dekade setelah reformasi, bangsa ini diingatkan kembali bahwa sejarah Indonesia tidak hanya tentang tindakan yang diukur di medan perang, tetapi juga diukur dari keberanian moral seperti Marsinah, kebijaksanaan pluralisme seperti Gus Dur, dan kepemimpinan gaya Soeharto dengan berpijak pada stabilitas politik.

Presiden Prabowo memberikan pelajaran moral, agar rakyat berani menatap masa depan, salah satunya melalui upaya rekonsiliasi. Rekonsiliasi sejarah bukan pekerjaan mudah.

Butuh keberanian, bukan hanya dari pemimpin, tapi dari rakyat untuk melihat masa lalu tanpa kebencian. Langkah Presiden Prabowo yang menempatkan penghargaan ini sebagai jalan kebangsaan, bukan jalan politik, perlu diapresiasi tinggi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan