AS Tunda Kenaikan Tarif Resiprokal 90 Hari, Trump Naikkan Tarif ke Tiongkok Jadi 125 Persen

ILUSTRASI. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump umumkan tarif impor baru ke berbagai negara-Carlos Barria-Dok. Reuters

BELITONGEKSPRES.COM - Presiden AS Donald Trump baru saja mengumumkan penundaan penerapan kebijakan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara yang terdampak. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap kekhawatiran yang muncul di negara-negara tersebut, menciptakan suasana gelisah di kalangan mitra dagang AS.

“Kami memutuskan untuk mengambil tindakan dan kami melakukannya hari ini, dan kami senang dengan hal itu,” ujar Trump, menekankan bahwa penundaan ini bertujuan memberikan ruang bagi dialog lebih lanjut.

Namun, di tengah berita ini, Tiongkok justru menghadapi kebijakan yang lebih ketat, dengan tarif impor yang melonjak dari 104 persen menjadi 125 persen. Menurut Trump, keputusan ini diambil sebagai respons terhadap apa yang ia sebut kurangnya rasa hormat Tiongkok terhadap pasar global. “Tiongkok harus menyadari bahwa hari-hari menipu AS tidak lagi berkelanjutan,” tegasnya.

Sementara itu, Meksiko dan Kanada juga mendapatkan perlakuan khusus, di mana tarif 25 persen akan tetap berlaku kecuali mereka mematuhi Perjanjian AS-Meksiko-Kanada. Meski penundaan tarif berlaku untuk banyak negara, termasuk Indonesia, langkah ini tetap menimbulkan dampak signifikan terhadap dinamika perdagangan internasional.

BACA JUGA:Wamentan Sudaryono Pastikan Penghapusan Kuota Impor Tidak Akan Rugikan Industri Dalam Negeri

BACA JUGA:Soal Penghapusan Kuota Impor, DPR Sebut Angin Segar untuk Ekonomi Rakyat

Reaksi pasar global terhadap pengumuman penundaan ini cukup positif, dengan indeks S&P 500 mencatat lonjakan terbesar dalam satu hari sejak 2008. Namun, Tiongkok juga merespons dengan menerapkan tarif balasan sebesar 84 persen terhadap produk-produk asal AS, menunjukkan bahwa ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia masih jauh dari selesai.

Bagi Indonesia, penundaan tarif ini bisa menjadi kesempatan sekaligus tantangan. Teuku Rezasyah, Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, menekankan bahwa pemerintah Indonesia tidak boleh hanya menunggu dan berharap penundaan ini akan berlanjut tanpa tindakan. Sebaliknya, Indonesia perlu memanfaatkan waktu 90 hari ini untuk bernegosiasi dan membuka peluang perdagangan baru.

“Pengiriman tim negosiasi ke AS harus berlanjut, dan upaya membuka keran impor ke negara-negara lain juga harus terus berjalan,” ujar Reza. Ia mengingatkan bahwa keputusan Trump mungkin mencerminkan ketidaksiapan dalam negeri AS untuk melaksanakan kebijakan yang terlalu terburu-buru.

Lebih dari sekadar menunggu, pemerintah Indonesia perlu memiliki rencana strategis dalam menghadapi isu tarif ini. Penundaan kebijakan tarif bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut tidak akan diterapkan di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk membuat kerangka waktu yang jelas terkait penyelesaian isu tarif ini, termasuk target waktu untuk penyusunan draf kebijakan.

BACA JUGA:Bahlil: Hilirisasi Jadi Kunci RI Hadapi Dampak Perang Dagang

BACA JUGA:Kemenkeu: Inflasi pada Momen Ramadhan dan Idulfitri 2025 Tetap Terkendali

Di tengah gejolak ini, ada pula kemungkinan bahwa Trump menggunakan penundaan ini sebagai strategi untuk menarik negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk mendekat dan meminta toleransi terhadap tarif yang dikenakan. Jika hal ini terjadi, Indonesia harus siap dengan pendekatan diplomasi yang matang.

Di sisi lain, Menlu Sugiono menegaskan bahwa Indonesia bersedia menampung warga Gaza dalam proses penyembuhan, tetapi tidak sebagai langkah pemindahan permanen. Kebijakan luar negeri Indonesia harus tetap berlandaskan pada kepentingan nasional dan tidak digunakan sebagai alat negosiasi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan