Bulgalbi Ortodok

Dahlan Iskan--
BACA JUGA:Miskin Bermartabat
Semua pintunya terkunci. Saya putari gereja itu. Siapa tahu ada pintu belakang yang terbuka. Tidak ada.
Beberapa wanita duduk tafakur di dekat salah satu pintu gereja. Lalu ada lelaki bersurban mirip pakaian seorang ulama Islam. Ia duduk di kursi menghadap dinding. Ia seperti bicara dengan dinding. Di belakang ulama itu ada tirai. Kain kuning. Seperti melindungi privasinya.
Saya mendekat. Ternyata ia membaca kitab. Mungkin injil. Ukuran kecil. Tidak sampai selebar telapak tangan. Khusuk sekali. Tidak menghiraukan kedatangan saya. Mengabaikan gerakan saya memotretnya.
Saya gagal masuk gereja itu.
"Kita pergi makan siang," kata saya kepada sopir.
"Masakan apa?”.
"Resto terbaiknya orang Ortodok".
Saya ingin tahu budaya mereka. Saya mendengar kerukunan agama di Ethiopia baik. Beda agama tidak sepenting beda suku. Yang lebih penting: suku dan bahasanya sama.
Tapi soal makanan sangat sensitif. Seperti di Pontianak (Disway 11 Desember 2022). Orang Islam di Ethiopia tidak mau makanan orang Kristen Ortodok. Takut tidak disembelih secara syariah.
Orang Kristen Ortodok juga tidak mau masakan orang Islam. Mereka punya syariah sendiri. Sebelun menyembelih hewan harus menggerakkan jari tiga kali: dada kiri, kanan dan dahi.
Saya ingat sopir travel ini tidak mau makan saat di Negash. Ikut masuk warung tapi tidak ikut makan. Tidak pula mau minum.
"Ini kan hari Jumat. Hari puasa," katanya. "Kami Ortodok harus puasa tiap hari Jumat dan Rabu," tambahnya.
Selasa lalu mereka juga sudah mulai puasa yang lain: puasa menjelang hari Paskah. Yang Kristen dan Katolik baru mulai puasa dua minggu lagi. Bagi penganut Ortodok puasa paskahnya 55 hari. Yang selain Ortodok 40 hari.
Begitu banyak hari puasa di Ortodok --meski puasanya lebih ringan.