Bahaya Tersembunyi di Balik Revolusi Kecerdasan Buatan
Atikah Triani, Alumi Unikom Bandung-Istimewa-
Teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan kini semakin dikenal hingga ke pelosok. AI telah menjadi aktor kunci dalam berbagai inovasi terkini di kehidupan manusia. Secara sederhana, AI adalah program komputer yang mampu menjalankan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia. Keputusan yang diambil oleh AI dianalisis berdasarkan informasi yang ada dalam sistemnya.
AI dirancang untuk berpikir seperti manusia. Proses yang terjadi di dalamnya menyerupai cara manusia melakukan analisis sebelum mengambil keputusan. AI dapat mengenali pola suara, gambar, dan berbagai jenis data yang diberikan kepadanya.
Kemampuan ini memungkinkan mesin untuk beroperasi secara mandiri dan menghasilkan produk dengan akurasi serta efisiensi yang lebih tinggi. Berbeda dengan revolusi industri yang hanya mentransformasi pekerjaan manual menjadi tenaga mesin, revolusi digital saat ini justru menggeser, bahkan menghapus, otoritas manusia, menggantikannya dengan algoritma.
Dimensi baru yang dihidupkan oleh algoritma telah mampu memandu, memprediksi, dan memberikan saran untuk menentukan langkah-langkah taktis dalam meningkatkan produktivitas manusia. Hal ini berdampak pada peningkatan performa, pemangkasan waktu kerja, serta terciptanya sistem produksi yang cerdas, berkelanjutan, dan hemat biaya.
BACA JUGA: AI dan Diskriminasi: Mengapa Algoritma Kecerdasan Buatan Bisa Berbahaya?
AI dengan cepat mempelajari pola perilaku manusia di internet, menyerap miliaran informasi dari interaksi di media sosial, serta mengamati dan memproses pola seperti manusia. Selain itu, AI memiliki daya ingat yang tidak akan pernah berkurang dan terus memperbaiki diri berdasarkan pengalaman yang tersimpan dalam memorinya.
Menurut gagasan populer Ray Kurzweil (2008), AI diperkirakan akan mencapai titik singularitas pada tahun 2045. Ini berarti, AI akan mampu menyamai kemampuan otak manusia, bahkan berpotensi melampauinya dengan mendesain ulang dirinya sendiri secara terus-menerus, mendorong inovasi tanpa batas.
Tak terelakkan, era baru revolusi digital perlahan mengubah cara manusia berpikir, bekerja, dan berbisnis. Bahkan, perubahan ini telah memengaruhi nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat secara masif. Tidak menutup kemungkinan, AI akan menjadi penyebab hilangnya beberapa jenis pekerjaan tertentu.
Dalam monolognya, Harari, Y.N. (2020) menyatakan bahwa dampak terburuk dari perkembangan AI adalah munculnya kelas sosial baru, di mana umat manusia di masa depan kehilangan fungsi mereka dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena tugas-tugas mereka digantikan oleh AI. Harari menyebut kelas ini sebagai useless class, yang terdiri bukan hanya dari pengangguran, tetapi pengangguran yang benar-benar tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan pasar.
Lebih dari itu, ada konsekuensi lain yang kini menjadi polemik. Jika program komputer biasa membutuhkan manusia dalam proses input, pengolahan, dan output, maka AI hanya membutuhkan input dan output. Prosesnya dikelola oleh persamaan matematis yang dibiarkan berkembang secara mandiri tanpa diketahui detailnya. Inilah yang disebut sebagai bias AI, yaitu situasi di mana mesin salah mengidentifikasi data sehingga menghasilkan keputusan diskriminatif yang jelas bertentangan dengan prinsip etika.
BACA JUGA:Bagaimana AI Mengubah Keamanan Siber: Ancaman yang Perlu Diwaspadai
Bias AI, misalnya, dapat menyebabkan kesalahan dalam mendeteksi wajah seseorang hanya karena kemiripan dengan data dalam database pelaku kejahatan. Burhani, A.N. (2023) mencatat bahwa AI juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan bisnis. AI bahkan disebut-sebut memiliki "ideologi" sendiri, setidaknya dipengaruhi oleh desainer sistemnya atau data yang tersebar di masyarakat.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Geoffrey Hinton dan Yoshua Bengio, dua tokoh utama dalam pengembangan AI, bersama sejumlah tokoh dunia lainnya, telah menandatangani surat terbuka yang menyatakan bahwa AI meningkatkan risiko kepunahan manusia.
Risiko ini disejajarkan dengan pandemi dan bom nuklir, bahkan dianggap lebih signifikan daripada dampak media sosial dan konflik sosial yang diakibatkan oleh teknologi. Dalam surat itu, mereka menegaskan bahwa pengendalian risiko AI harus menjadi prioritas global untuk mengurangi ancaman terhadap kelangsungan hidup umat manusia di masa depan (BBC, 2023).