BELITONGEKSPRES.COM - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menegaskan bahwa hasil dari kebijakan ini akan dialokasikan untuk berbagai program pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
"Manfaat dari penyesuaian tarif PPN akan kembali kepada rakyat, seperti melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, hingga subsidi untuk BBM, LPG 3 kg, listrik, dan pupuk," ujar Dwi, Minggu 24 November. Selain itu, pemerintah juga menyebut dana sebesar Rp269,59 triliun telah dialokasikan untuk bantuan sosial dan subsidi selama tahun 2023.
Namun, di tengah klaim pemerintah tersebut, gelombang protes dari masyarakat kian meningkat. Salah satu simbol penolakan yang mencuat adalah "garuda biru", yang viral di media sosial. Garuda biru, yang sebelumnya dikenal sebagai simbol gerakan terkait revisi UU Pilkada dan putusan Mahkamah Konstitusi, kini menjadi ikon perlawanan terhadap kebijakan PPN 12 persen.
BACA JUGA:PLN dan Icon Plus Tandatangani Kerja Sama Sewa Mobil Listrik untuk Kendaraan Operasional
BACA JUGA:PLN Jabarkan Strategi untuk Menarik Investasi EBT dalam Mendukung Transisi Energi Berkelanjutan
Beragam poster dan unggahan media sosial menyuarakan kritik terhadap kebijakan ini. Salah satu poster yang viral berbunyi, "Menarik Pajak Tanpa Timbal Balik untuk Rakyat Adalah Sebuah Kejahatan. Jangan Minta Pajak Besar Kalau Belum Becus Melayani Rakyat. Tolak PPN 12%."
Kritik juga ramai di platform X (dulu Twitter), seperti unggahan Yayasan LBH Indonesia (@YLBHI) yang menulis, "PPN 12% oke sih, kalau pemerintahannya... 1. Ngga korupsi 2. Lanjutin di kolom reply yaaaa.." Kritik serupa diungkap akun Instagram @lawandarikantor, yang menyerukan aksi masyarakat untuk menolak kebijakan ini, mulai dari mengurangi konsumsi hingga menggalang protes di jalan.
Masyarakat menilai kenaikan PPN ini akan menambah beban, terutama bagi golongan menengah ke bawah, di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit pasca-pandemi.
Tuntutan transparansi dalam pengelolaan dana pajak dan pengurangan praktik korupsi menjadi poin utama yang digaungkan oleh para kritikus kebijakan ini.
Di sisi lain, pemerintah berupaya meyakinkan publik bahwa kebijakan ini adalah langkah strategis untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Kendati demikian, dinamika penolakan masyarakat menjadi tantangan besar bagi implementasi kebijakan yang dijadwalkan mulai berlaku pada Januari 2025. (jpc)