Artinya, produksi SSDN hanya mampu memenuhi sekitar 19--20 persen kebutuhan susu nasional, selebihnya harus dipenuhi melalui impor.
Kementerian Perindustrian pada 2022 menyebutkan bahwa kebutuhan susu selama 6 tahun terakhir mengalami peningkatan dengan rata- rata 6 persen per tahun, sedangkan produksi susu segar dalam negeri hanya tumbuh 1 persen. Produksi SSDN di Indonesia memang setara dengan dinamika populasi sapi perahnya.
BACA JUGA:Presiden Sebagai Panglima Pemberantasan Korupsi
Ini berbeda dengan negara-negara maju. Meski populasi sapi perah semakin menurun, produksi susu segarnya adakalanya meningkat signifikan.
Pemerintah sejak 2013, melalui Kemenko Perekenomian, sudah mempunyai Cetak Biru Persusuan Nasional 2013--2025 sebagai salah satu upaya untuk mendorong pengembangan persusuan nasional melalui empat kebijakan strategis.
Pertama, peningkatan produksi susu segar berkualitas. Kedua, peningkatan konsumsi susu segar masyarakat. Ketiga, pengembangan industri pengolahan susu, dan keempat, pengembangan pasar dan jalur pemasaran.
Meski cetak biru sudah ada, tampaknya masih ada kendala eksekusi di lapangan. Ada adagium bahwa apa pun kebijakannya, ada perbedaan teori dengan pelaksanaannya.
Indikasinya, kapasitas produksi susu sapi perah nasional dalam satu dekade atau bahkan 5 tahun terakhir tidak sesuai harapan.
Data BPS menyebutkan, produksi susu sapi perah nasional pada 2015 sebesar 71,95 juta liter senilai Rp340,9 miliar, lalu pada 2016 jadi 74,07 juta liter senilai Rp409,98 miliar, pada 2017 jadi naik menjadi 132,22 juta liter senilai Rp702,69 miliar, pada 2018 sebesar 135,03 juta liter senilai Rp773,98 miliar.
BACA JUGA:Presiden Sebagai Panglima Pemberantasan Korupsi
Kemudian, pada 2019 naik jadi 219,8 juta liter senilai Rp670 miliar, pada 2020 anjlok turun jadi 105,37 juta liter senilai Rp681,63 miliar, lalu pada 2021 sedikit naik jadi 133,17 juta liter (Rp850,59 miliar), lalu pada 2022 turun lagi jadi 121,99 juta liter (Rp784,58 miliar) dan pada 2023 stabil di angka 123,90 juta liter (Rp819,97 miliar).
Menilik data itu, agaknya sulit diharapkan produksi susu segar nasional bisa digenjot secara signifikan karena sampai sekarang belum terlihat upaya nyata untuk membela produk nasional ini mengambil peran cukup strategis.
Padahal realitas di masyarakat, aneka produk susu dan olahan makin hari makin berkembang. Artinya, permintaan itu ada dan cenderung bertumbuh di tengah kesadaran publik akan pentingnya pangan bergizi seperti susu sebagai salah satu sumber protein hewani.
Jika permintaan terus tumbuh, sementara kapasitas susu nasional tak beranjak, maka wajar jika Pemerintah mengambil jalan pintas dengan impor dari luar.
Artinya, ada problem keberpihakan yang tak berimbang. Satu sisi rakyat perlu dibela, tetapi prakondisi menuju tumbuh kembang mereka tidak terlihat disediakan.
Rencana impor sapi perah dalam waktu dekat ini sepertinya bak gayung bersambut dengan program makan bergizi gratis pemerintahan Prabowo-Gibran.