Transparansi dalam pengadaan bahan pangan juga menjadi elemen penting yang harus diperkuat. Publik dan berbagai pemangku kepentingan, termasuk petani, koperasi, dan pemerintah daerah, harus dilibatkan dalam setiap proses pengadaan dan distribusi.
Kolaborasi ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan terhadap Bulog, tetapi juga memungkinkan solusi-solusi yang lebih inovatif dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan.
BACA JUGA:Kembali Kepada Indonesia
Dalam hal ini, Bulog harus lebih intensif dalam berkoordinasi dengan petani untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan dukungan yang memadai, baik dari segi teknologi maupun akses pasar.
Dengan demikian, peran Bulog tidak hanya sebagai pengelola logistik, tetapi juga sebagai motor penggerak ekosistem pangan yang inklusif dan berkelanjutan.
Manajemen Risiko
Dalam beberapa waktu terakhir, Bulog telah menunjukkan kinerja yang cukup membanggakan, terutama dalam pelaksanaan Program Bantuan Langsung Beras kepada 22 juta rumah tangga penerima manfaat.
Dengan alokasi 10 kg per bulan per keluarga, program ini berhasil disalurkan dengan kualitas beras yang lebih baik dibandingkan dengan program-program sebelumnya seperti Raskin atau Rastra.
Keluhan mengenai kualitas beras yang buruk, seperti beras berkutu atau berbau, telah banyak berkurang, menunjukkan adanya peningkatan dalam pengelolaan distribusi Bulog.
BACA JUGA:Kandidat Pilkada 2024 Berburu Tuah Jokowi
Hal ini sejalan dengan semangat "menghantarkan kebaikan" yang diusung oleh lembaga ini, di mana pelayanan publik menjadi prioritas utama.
Namun, meskipun ada berbagai capaian positif, tantangan besar tetap ada, terutama dalam hal impor beras.
Tahun ini, pemerintah merencanakan impor beras hingga 5 juta ton, angka yang cukup fantastis. Di balik angka besar ini, muncul masalah teknis yang harus dihadapi Bulog, salah satunya adalah biaya demurrage atau denda akibat keterlambatan bongkar muat di pelabuhan.
Biaya ini, yang kabarnya mencapai Rp350 miliar, timbul karena adanya perubahan kebijakan terkait metode pengiriman beras impor dari menggunakan kapal besar menjadi kontainer.
Perubahan kebijakan yang mendadak ini, ditambah faktor cuaca, menyebabkan penundaan dalam proses bongkar muat, sehingga biaya tambahan harus ditanggung.
Kasus demurrage ini seharusnya menjadi bahan evaluasi yang mendalam bagi Bulog dan pemerintah. Meskipun biaya demurrage sering kali dianggap hal biasa dalam dunia logistik, skala denda yang terjadi dalam kasus ini cukup signifikan.
BACA JUGA:Menjaga Kelancaran Pendistribusian Demi BBM Satu Harga di Tapal Batas