Stereotip telah lama menjadi bagian dari kehidupan manusia di seluruh dunia. Ketika kita menggeneralisasi kelompok berdasarkan ras, jenis kelamin, atau budaya, kita cenderung mereduksi kompleksitas individu menjadi satu label tertentu.
Stereotip ini, baik yang positif maupun negatif, berpotensi membatasi kita untuk melihat kenyataan yang lebih kompleks. Misalnya, anggapan bahwa orang Eropa itu cerdas atau orang Afrika selalu identik dengan kemiskinan, ialah contoh stereotip global yang masih kita jumpai sampai saat ini.
Di Indonesia, stereotip juga sangat lazim ditemui. Orang Jawa acap kali digambarkan sebagai orang yang lembut dan sabar. Sementara itu, orang Batak cenderung dilabeli sebagai orang yang keras dan tegas. Dalam kasus lain, masyarakat Papua juga tak ayal juga menghadapi prasangka rasial dan stereotip yang menyakitkan. Mereka kadang dianggap tidak secerdas orang dari daerah lain di Indonesia.
Meskipun ada stereotip yang positif, banyak juga stereotip ini yang tidak akurat dan merugikan. Misalnya, orang Jepang sering dianggap selalu disiplin dan pekerja keras, namun itu tidak berarti semua individu dalam kelompok tersebut memiliki sifat yang sama. Hal ini dapat membebani individu yang tidak memenuhi ekspektasi tersebut.
BACA JUGA:Apakah AI Mengancam Demokrasi? Dampak Deepfake dalam Politik
Hal ini termasuk pula jika kita berbicara stereotip negatif. Seperti misalnya pandangan bahwa orang Timur Tengah selalu terkait dengan kekerasan, adalah contoh betapa merusaknya generalisasi yang salah. Claude Steele menunjukkan bahwa stereotip dapat memengaruhi kinerja individu, terutama ketika mereka merasa terancam oleh ekspektasi yang negatif (Steele, 1997).
Stereotip-stereotip tersebut kadang muncul karena ketidaktahuan atau kesalahpahaman budaya karena terlalu dini menyimpulkan sesuatu. Ihwal inilah yang terjadi di Indonesia, yang mana keberagaman suku dan budaya seharusnya menjadi kekuatan, tetapi malah sering menjadi sumber prasangka dan petaka.
Pengalaman penulis mengikuti America Field Service (AFS) Global Educators 2024 memperkuat perspektif penulis dalam memahami stereotip dan generalisasi. Pada materi tentang Stereotypes and Generalizations di program ini, membuka wawasan kami tentang bagaimana stereotip terbentuk dan memengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda.
Mempelajari stereotip dan generalisasi memiliki tujuan penting, yakni untuk memperluas wawasan kita tentang dunia dan memperkaya interaksi lintas budaya. Mahzarin Banaji melalui karyanya tentang implicit bias mengatakan bahwa dengan menyadari bias ini, kita dapat mulai mereduksi efek negatif stereotip dan meningkatkan kualitas interaksi sosial (Banaji, 2013). Mempelajari bagaimana stereotip bekerja memberikan kita ruang untuk lebih kritis terhadap asumsi yang kita buat tentang orang lain.
BACA JUGA:Dampak Ekonomi MotoGP Mandalika 2024: Untung atau Buntung?
Apa itu Stereotip?
Walter Lippmann memperkenalkan istilah stereotip dalam Public Opinion tahun 1922. Ia menyatakan bahwa stereotip adalah gambaran yang dipermudah dalam pikiran kita mengenai kelompok orang atau peristiwa (Lippmann, 1922). Stereotip merupakan suatu penilaian atau bias terhadap kelompok tertentu yang incomplete (tidak lengkap), inflexible (tidak fleksibel), dan oversimplified (terlalu disederhanakan). Hal ini pun berpotensi pada asal muasal terjadinya diskriminasi (AFS, 2024).
Erving Goffman dalam teorinya tentang labeling menjelaskan bahwa stereotip ialah cara kita menempelkan label tertentu kepada orang lain tanpa memahami konteks mereka sepenuhnya (Goffman, 1963). Dengan demikian, stereotip kadang mengabaikan keragaman individu dan menciptakan gambaran yang tidak adil tentang suatu kelompok.
Stereotip dapat bersifat eksplisit dan implisit. Stereotip eksplisit adalah yang kita sadari dan akui. Sedangkan stereotip implisit (tersirat) adalah bias yang bekerja secara tidak sadar. Artinya, kita tidak menyadari bahwa kita memiliki kepercayaan atau asosiasi pemikiran terhadap sekelompok orang tertentu.
Penelitian oleh Banaji dan Greenwald menunjukkan bahwa banyak dari kita memiliki bias implisit yang tidak kita sadari, tetapi memengaruhi cara kita menilai dan berperilaku terhadap orang lain (Greenwald & Banaji, 1995).
BACA JUGA:Kemenkeu Mengajar 9: Strategi Pendidikan Keuangan untuk Generasi Muda Indonesia