BELITONGEKSPRES.COM - Asosiasi Ritel Vape Indonesia (Arvindo) menyuarakan kekhawatirannya terkait dampak dari penerapan kebijakan kemasan polos tanpa merek yang dirancang oleh Kementerian Kesehatan.
Kebijakan ini dipandang dapat memicu pertumbuhan pasar rokok elektronik ilegal, yang pada akhirnya merugikan industri rokok elektronik legal di dalam negeri, terutama yang didominasi oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Menurut Sekretaris Jenderal Arvindo, Rifqi Habibie Putra, aturan ini berpotensi menciptakan situasi yang menguntungkan bagi produsen rokok elektronik ilegal, karena mereka tidak terikat oleh kewajiban membayar cukai dan sering kali menjual produk secara online tanpa melakukan verifikasi usia pembeli.
"Ini bisa menjadi permasalahan baru bagi industri, karena produk ilegal semakin mudah diakses, khususnya oleh konsumen di bawah umur," ujar Rifqi.
BACA JUGA:Menperin: Tren Deflasi 5 Bulan Berturut-Turut Dipicu Lonjakan Barang Impor
BACA JUGA:Penerimaan Pajak dari Ekonomi Digital Capai Rp28.91 Triliun, dari Kripto hingga Fintech
Kebijakan kemasan polos tersebut diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.
Di saat produk ilegal masih banyak beredar dan belum sepenuhnya terkendali, kebijakan ini dinilai dapat memperbesar potensi peralihan konsumen rokok elektronik legal ke produk-produk ilegal yang tidak membayar cukai.
"Jika kondisi ini terjadi, toko-toko legal yang menjual produk dengan pita cukai akan tertekan dan mungkin terpaksa tutup. Pada akhirnya, negara akan kehilangan potensi pendapatan cukai karena peralihan ke pasar gelap," jelas Rifqi.
Penelitian yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga mendukung kekhawatiran ini. Menurut Ekonom Senior Indef, Tauhid Ahmad, jika kebijakan kemasan polos, larangan penjualan di sekitar fasilitas pendidikan, dan pembatasan iklan diterapkan secara bersamaan, dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun, setara dengan 1,5 persen dari PDB. Kerugian terbesar dipicu oleh migrasi konsumen ke produk rokok ilegal dan penurunan permintaan produk legal.
BACA JUGA:Jokowi Siap Hadiri Groundbreaking Baru di IKN, Tunggu Undangan Kepala Otorita
BACA JUGA:PLN dan PLN EPI Perkuat Infrastruktur Gasifikasi untuk Percepat Transisi Energi Bersih
Dampak lain yang signifikan adalah pada penerimaan negara, yang diperkirakan akan kehilangan pendapatan pajak hingga Rp160,6 triliun.
Tauhid menegaskan bahwa kehilangan sebesar ini akan sangat mempengaruhi kemampuan negara untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi lebih dari 5 persen, mengingat kontribusi pajak terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 10-11 persen.
Kebijakan kemasan polos tanpa merek ini, jika diimplementasikan, tidak hanya akan mempengaruhi pelaku industri rokok elektronik, tetapi juga seluruh ekosistem industri tembakau, termasuk tenaga kerja yang bergantung pada sektor ini. (ant)