Gelombang PHK dan Inflasi Mengancam Pasca Kenaikan PPN 12 Persen pada 2025
Ilustrasi buruh pabrik. -Sulthony Hasanuddin-Antara
BELITOPNGEKSPRES.COM - Ekonom memperingatkan bahwa keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, dari sebelumnya 11%, berisiko memperburuk kondisi pasar tenaga kerja, dengan potensi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin besar.
Esther Sri Astuti, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menjelaskan bahwa kebijakan kenaikan PPN ini berpotensi menciptakan efek domino yang merugikan perekonomian. Kenaikan tarif PPN akan meningkatkan harga barang dan jasa, yang kemudian menyebabkan inflasi. Daya beli masyarakat pun diperkirakan akan tergerus akibat penurunan pendapatan riil, yang pada gilirannya akan mengurangi permintaan terhadap barang dan jasa.
"Kenaikan PPN menjadi 12% ini diperkirakan akan mengurangi ekspor hingga 1,41%, menurunkan pendapatan riil sebesar 0,96%, dan meningkatkan angka pengangguran sebesar hampir 1%," ujar Esther dalam wawancara dengan Beritasatu.com pada Minggu 17 November.
Esther menambahkan bahwa dampak kenaikan PPN ini akan merata di seluruh sektor perekonomian. Biaya produksi yang lebih tinggi akan mendorong harga produk naik, yang pada gilirannya mengurangi permintaan konsumen. Sektor-sektor yang paling terdampak termasuk jasa (0,81%), akomodasi dan makanan minuman (0,71%), serta manufaktur (0,60%).
BACA JUGA:Pengamat Menilai Kenaikan Tarif PPN 12 Persen Membebani Masyarakat
BACA JUGA:Kenaikan PPN 12 Persen Dinilai Jadi Ancaman Baru Terhadap Daya Beli
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, terutama pada April 2022 saat PPN naik dari 10% menjadi 11%, kenaikan pajak telah menyebabkan inflasi sebesar 0,95%. Kenaikan 1% lagi diperkirakan akan mendorong inflasi lebih lanjut pada tahun 2025.
Tingginya inflasi ini akan mengurangi daya beli masyarakat, yang cenderung akan menahan pengeluaran mereka. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang biasanya didorong oleh konsumsi rumah tangga bisa melambat.
"Jika konsumsi rumah tangga turun, perusahaan akan merasakan dampaknya dalam bentuk penurunan permintaan. Ini bisa mendorong perusahaan untuk mengurangi produksi atau bahkan melakukan efisiensi tenaga kerja, yang berisiko menyebabkan PHK lebih banyak," tambah Esther.
Dengan proyeksi ini, para ekonom menilai bahwa kebijakan kenaikan PPN perlu ditinjau kembali agar tidak menambah beban ekonomi bagi masyarakat, yang sudah cukup terbebani dengan situasi perekonomian global yang belum stabil. (beritasatu)