Menjaga Wibawa Sarjana Sebagai Penentu Kemajuan Bangsa

Selasa 01 Oct 2024 - 20:15 WIB
Oleh: Sizuka

Merayakan Hari Sarjana Nasional rasanya tidak afdal bila belum berkenalan dengan Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak dari pahlawan emansipasi wanita RA Kartini. Siapa sosok Kartono, hingga begitu penting untuk kita ketahui bersama? Dialah orang Indonesia yang pertama meraih gelar sarjana pada tahun 1899, setelah berhasil menyelesaikan studinya di jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Leiden University, Belanda.

Kartono, yang dalam banyak catatan sejarah digambarkan sebagai sosok yang haus ilmu pengetahuan, juga mengantongi kemampuan lain yang luar biasa. Putra Bupati Jepara itu mampu menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah di Indonesia.

Tentu tidak berlebihan jika pada akhirnya Kemendikbudristek memilih tanggal kelahiran Kartono (29 September) menjadi momen perayaan Hari Sarjana Nasional sejak 2014. Kini, setelah satu seperempat abad berlalu dan kita hidup di zaman kecerdasan buatan, bagaimana anak-anak muda sekarang memandang pentingnya mengenyam pendidikan hingga lulus perguruan tinggi?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis tahun 2020 menunjukkan persentase penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang memiliki gelar sarjana atau lebih sekitar 9,78 persen dari total penduduk sebanyak 270 juta jiwa.

BACA JUGA:Menggali Akar Perilaku Manusia (Catatan Perjalanan Program APS 2024)

Persentase yang relatif kecil itu tentu bukan semata-mata pengaruh faktor ketidakmampuan masyarakat atas pembiayaan pendidikan. Sebab bila terkait faktor ekonomi, tersedia banyak jalan untuk mengupayakannya ketika pendidikan diposisikan sebagai kebutuhan prioritas. Apalagi bagi mereka yang berprestasi, banyak peluang memperoleh beasiswa. Dan untuk menjadi siswa/mahasiswa berprestasi hal yang sangat menentukan adalah kesungguhan belajar, bukan oleh berlimpahnya fasilitas dan besarnya anggaran jajan.

Demi menaikkan peluang anak muda memperoleh pendidikan hingga perguruan tinggi, pemerintah pun menghadirkan sejumlah program beasiswa, seperti yang dikelola LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) atau melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, juga berbagai pendidikan kedinasan yang dapat ditempuh secara gratis. Kementerian/lembaga pemerintah banyak pula yang menawarkan program beasiswa, belum lagi perusahaan-perusahaan swasta yang turut melakukan hal yang sama sebagai bagian amal sosial mereka.

Intinya, teramat banyak jalan menuju kampus bagi mereka yang gigih untuk meraih gelar sarjana. Memang, bukan sekadar berburu gelar. Predikat sarjana setidaknya mengindikasikan kualifikasi dan kompetensi SDM di bidang tertentu. Ketika memasuki dunia kerja, seorang sarjana akan menjadi tenaga ahli atau profesional. Jika memilih membangun usaha sendiri, mereka akan mampu mengembangkan inovasi dan kreativitas berbasis pengetahuan yang dimiliki.

BACA JUGA:Mewujudkan Keamanan Pangan dengan Menggandeng Aparat Hukum

Lulusan perguruan tinggi dinilai telah memiliki konstruksi berpikir yang terstruktur menjadikannya mampu membangun konsep program, mengatur strategi sampai pelaksanaan realisasinya secara efektif dan efisien. Sebuah kualifikasi minimal untuk kader kepemimpinan bangsa.

Maka perayaan Hari Sarjana Nasional dimaksudkan sebagai apresiasi peran para intelektual atas kontribusinya terhadap pembangunan dan kemajuan bangsa.

Sarjana atau gaya

Ada perbedaan cara pandang masyarakat dahulu dengan anak muda zaman sekarang. Dahulu, orang berpandangan bahwa anak yang mampu menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi dan berhasil lulus dengan nilai terbaik adalah sebuah capaian yang membanggakan. Selanjutnya, sang sarjana melamar kerja di kantor pemerintahan menjadi abdi negara dengan mengenakan seragam khasnya. Orang tua akan bangga dan berbunga-bunga melihat itu semua. Foto-foto anak wisuda atau yang berseragam kerja tidak lupa dipajang di ruang tamu sebagai media publikasi untuk menyiarkan tentang kesuksesan anaknya pada tetangga dan sanak saudara yang bertandang.

BACA JUGA:PUI UM Terangi Daerah 3T dengan Energi Terbarukan

Kini sebagian generasi kiwari lebih getol memburu popularitas dan ukuran kesuksesan berorientasi pada besaran uang yang berhasil diraup dari menjual ketenaran. Media sosial menjadi ladang karier yang gampang, instan, dan dianggap menjanjikan hanya dengan menggaet pengikut (follower) sebanyak-banyaknya. Padahal keberadaan pengikut itu tidak abadi. Sedikit saja seorang selebritas medsos melakukan kesalahan dan mengecewakan warganet, mereka akan pergi meninggalkannya. Dan pundi-pundi monetisasi akan hilang karenanya.

Kategori :