Dalam kehidupan sehari-hari, kita tak pernah lepas dari interaksi sosial yang mempertemukan kita dengan berbagai macam orang yang memiliki perbedaan. Mungkin pagi ini, Anda berjalan ke kantor dan bertemu dengan seseorang yang mengenakan pakaian kantor tertentu. Sementara itu di warung kopi atau kafe pada waktu malam hari, Anda bertemu dengan seseorang yang berbicara menggunakan bahasa yang tak familier di telinga Anda.
Di sisi lain, Anda juga bertemu dengan pemuda yang tampil nyentrik dengan cara berpakaiannya. Artinya, usia yang berbeda, perbedaan pekerjaan, hingga cara mengekspresikan diri ini menjadi pemandangan yang biasa di kehidupan sosial. Akan tetapi, sering kali kita bertemu dengan fenomena ini dan ada pertanyaan yang mungkin saja terlintas di benak, yakni mengapa setiap orang memiliki perbedaan?
Kalimat interogatif ini menjadi semakin menarik kala penulis mengikuti program America Field Service (AFS) Global STEM Educators 2024, terutama pada materi "When Differences Collide". Dalam bagian ini, kami membahas mengapa perbedaan-perbedaan bisa berbenturan.
Selama program AFS 2024 ini, penulis bertemu dengan banyak orang dari latar belakang yang sangat beragam, yakni Asia, Amerika, hingga Eropa. Kami berdiskusi tentang berbagai tantangan yang dihadapi ketika berinteraksi dalam lingkungan yang berbeda dan apa sebenarnya faktor-faktor yang membentuk perilaku manusia sehingga bisa berbeda-beda.
BACA JUGA:Mewujudkan Keamanan Pangan dengan Menggandeng Aparat Hukum
Dalam sesi materi ini, kami membahas bagaimana perbedaan-perbedaan ini terbentuk akibat dari budaya, individu, dan situasi. Program ini menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan merupakan sesuatu yang natural. Karena sejatinya manusia ialah produk dari ragam konteks yang membentuknya.
Saat kita berinteraksi di masyarakat, terkadang suatu perbedaan bisa membuat kita terkejut dan bingung. Misalnya, saat kita berbicara dengan seseorang dari budaya yang sangat menghargai hirarki, kita akan merasa kaku karena cara berbicara mereka formal (resmi). Hal ini akan berbeda dengan gaya bicara santai yang biasa digunakan. Artinya, suatu perbedaan ini membuat kita berpikir ulang: apakah tadi sudah bersikap sopan? Apakah sudah memahami konteksnya dengan baik? Ketidaktahuan dan salah memahami tentang latar belakang budaya orang lain bisa menyebabkan salah paham, ketegangan, bahkan konflik.
Dalam interaksi sosial yang kompleks seperti ini, memahami konteks budaya menjadi sangat penting. Clifford Geertz (1973) sebagai sosiolog menyatakan bahwa budaya adalah jaring makna yang dirajut oleh manusia, dan setiap tindakan serta perilaku kita harus dipahami dalam konteks jejaring itu. Mengetahui dan memahami latar belakang kultural seseorang membantu kita untuk lebih berempati dan menerima perbedaan tanpa prasangka. Contoh konkretnya bisa kita lihat dalam interaksi sosial pada bisnis internasional, yang mana negosiasi antara perusahaan Eropa dan Asia terkadang gagal bukan karena isi negosiasinya. Akan tetapi, karena kesalahpahaman dalam komunikasi kultural.
BACA JUGA:PUI UM Terangi Daerah 3T dengan Energi Terbarukan
Namun, perilaku manusia tidak bisa dijelaskan hanya melalui budaya saja. Daniel Kahneman (2011) dalam buku Thinking, Fast and Slow menunjukkan bahwa keputusan manusia cenderung dipengaruhi oleh bias kognitif dan emosional daripada faktor budaya semata. Oleh sebab itu, ketika kita mempelajari perilaku manusia, penting untuk memahami bahwa ada banyak faktor yang berperan. Hal ini tidak hanya budaya, tetapi termasuk juga kepribadian, pengalaman, dan bahkan suasana hati seseorang pada saat tertentu.
Model CuPS
Dalam studi tentang perilaku manusia di program AFS ini, salah satu model yang kami pelajari adalah model Culture-Person-Situation (CuPS). Model CuPS ini dikembangkan oleh Dov Cohen. Cohen merupakan profesor psikologi sosial dari University of Illinois. Ia memberikan kerangka kerja komprehensif untuk memahami bagaimana perilaku manusia terbentuk melalui interaksi antara budaya, individu, dan situasi.
BACA JUGA:Saat Lelang Tanah Beralih ke Platform Digital
Cohen (1996) menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu atau situasi saja, tetapi juga oleh konteks budaya yang mendasari. Model ini mencoba untuk menggabungkan 3 elemen penting dalam psikologi sosial, yakni budaya (culture), individu (person), dan situasi (situation). Hal ini ada untuk menjelaskan bagaimana ketiganya saling berinteraksi dalam membentuk perilaku manusia.
Menurut Geert Hofstede (1991), ia mengungkapkan bahwa budaya adalah perangkat lunak pikiran, yang mana ihwal ini memengaruhi bagaimana seseorang berperilaku dalam lingkungan sosialnya. Dimensi culture atau budaya dalam model CuPS ini mencakup berbagai level. Tingkatan-tingkatan ini dimulai dari budaya nasional yang mencerminkan nilai-nilai kolektif sebuah negara, hingga budaya regional, profesional, perusahaan, bahkan nilai-nilai dan sikap secara individu.