Zona nyaman atau disebut juga comfort zone biasanya dipandang sebagai fase yang berjalan stabil dan terkendali. Akan tetapi, ada kalanya zona ini berganti menjadi jerat yang merangkap kita secara tak disadari. Misalnya, seorang guru merasakan hal ini kala ia mendapatkan undangan mengajar ke sekolah lain atau pindah tempat kerja.
Bertahun-tahun lamanya, ia telah nyaman mengajar di sekolahnya dengan peserta didik yang telah dikenal baik. Saat harus terpaksa mengajar di tempat yang tak biasanya, ia akan panik. Perasaan yang tak siap, kekhawatiran terhadap lingkungan baru, dan tekanan untuk sesuai ekspektasi, membuatnya sulit keluar dari zona nyaman yang selama ini telah ia nikmati.
Pengalaman yang seperti ini serupa dengan yang penulis alami di program America Field Service (AFS) Global STEM Educators 2024. Penulis membagikan cerita keluar dari zona nyaman ini kepada teman-teman pendidik dari berbagai negara saat mengikuti program tersebut. Selama program, penulis harus belajar bahasa Inggris intensif, berdiskusi dengan pendidik dari berbagai negara, serta beradaptasi dengan keberagaman kultur.
Pada awalnya, penulis merasa asing dan khawatir, namun seiring berjalannya waktu, penulis akhirnya menyadari jika meninggalkan zona nyaman itu membantu untuk tumbuh. Selain itu, keluar dari zona nyaman ini juga membuat kita belajar hal-hal baru yang tidak pernah kita bayangkan dan alami sebelumnya.
BACA JUGA:Meningkatkan Literasi dan Karakter Siswa melalui Program 'SENYUM' di SDN 5 Manggar
Mempelajari dan memahami pentingnya ”Leaving Comfort Zone” atau keluar dari zona nyaman ialah fase esensial untuk pengembangan diri. Materi ketiga dari program AFS Global STEM Educators ini penulis pelajari setelah belajar tentang gaya belajar, serta budaya dan identitas pada materi sebelumnya. Meninggalkan zona nyaman ini memberikan kita kesempatan untuk menghadapi tantangan baru, dan berpotensi membangun kemampuan lainnya yang selama ini terkubur. Lebih dari itu, pengalaman pada pembelajaran ini juga mengajarkan tentang ketangguhan mental, mengembangkan strategi regulasi diri, dan kemampuan adaptasi dalam masyarakat ataupun dunia kerja.
Dr. Carol Dweck, psikolog Stanford dan penulis buku Mindset pernah berpendapat tentang fase meninggalkan zona nyaman ini. Ia mengutarakan, kita acap kali merasa bahwa tetap berada di zona nyaman akan melindungi kita dari kegagalan, padahal zona nyaman itu malah berpotensi menghambat potensi seseorang (Dweck, 2007).
Model Comfort-Learning-Panic Zone
Dalam program AFS (2024), penulis belajar tentang model Comfort-Learning-Panic Zone. Model Comfort-Learning-Panic Zone mendeskripsikan 3 zona yang dialami seseorang saat dihadapkan pada situasi baru, termasuk bertemu dengan orang-orang yang berbeda budaya. Zona nyaman ialah tempat seseorang merasa damai dan aman. Zona belajar ialah di mana tantangan hadir, tetapi masih dalam batas kendali. Sementara itu, zona panik ialah ketika tekanan terlalu besar, sehingga pikiran tidak mampu berfungsi secara efektif.
BACA JUGA:Calon Tunggal Tidak Mengurangi Makna Demokratis Pilkada
Zona nyaman atau comfort zone, secara umum didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang merasa aman, terkendali, nikmat, dan bebas dari tekanan atau problematika. Istilah zona nyaman pertama kali diutarakan dalam ”The Dangers of the Comfort Zone” oleh Judith Bardwick tahun 1991. Bardwick (1991) mendefinisikan zona nyaman sebagai perilaku dimana seseorang dengan perilaku yang terbatas bekerja atau bekerja untuk mencapai tingkat kinerja stabil, sehingga pekerjaan tersebut dilakukan tanpa risiko, monoton, dan bahkan membosankan.
Ilustrasi zona nyaman ialah, misalnya seorang pelajar Indonesia yang belajar di negara asalnya bersama teman-teman dari latar belakang budaya yang sama. Dia bergaul dengan orang-orang yang berbicara bahasa yang sama dan memiliki nilai-nilai budaya yang sama, sehingga merasa aman dan nyaman karena tidak ada tantangan dalam berinteraksi.
Robert Yerkes dan John Dodson (1908) mengatakan, terlalu lama di zona nyaman dapat menyebabkan stagnasi. Mereka menyebutkan bahwa manusia mencapai kinerja optimal saat berada sedikit di luar zona nyaman, dalam apa yang disebut sebagai zona belajar. Konsep ini dikenal dengan Yerkes-Dodson Law, yang menyatakan bahwa stres yang moderat diperlukan untuk memaksimalkan produktivitas, tetapi ketika stres terlalu tinggi, hal itu akan menyebabkan kepanikan dan mengurangi efektivitas.
BACA JUGA:Belajar Penanggulangan Stunting dari Lombok Timur
Jika kita mampu mengelola transisi dari zona nyaman ke zona belajar (learning zone), kita dapat mencapai perkembangan yang maksimal. Lev Vygotsky (1978), psikolog pendidikan yang mengenalkan konsep serupa melalui konsep Zone of Proximal Development (ZPD). Konsep ini menggambarkan zona antara apa yang dapat dilakukan seorang anak secara mandiri dan apa yang bisa dilakukan dengan bimbingan (Vygotsky, 1978).