Sehabis pandemi ini, tata laksana kehidupan semakin berangsur-angsur berubah. Dibandingkan beberapa waktu lalu, saat covid-19 merajalela, aktivitas di bidang pendidikan sempat karam di rumah. Meskipun pemerintah selalu mengelu-elukan program belajar dari rumah lewat platform yang menarik, akan tetapi konten-konten tayangan tidak mendidik yang disediakan laman lain, lebih menarik dibandingkan mempelajari materi belajar. Sudah maksimalkah pembenahan itu? Kenyataannya kita kesusahan berbenah.
Apa yang paling dibutuhkan pendidikan saat ini? Pertanyaan ini mestinya diajukan setiap pergantian tahun. Mengingat wajah pendidikan kita masih saja disibukkan dengan tuntutan literasi dan numerasi yang terus menurun sejak 2015. Belum lagi persoalan pembangunan bahkan pembenahan karakter siswa yang tidak pernah ada kata sudah. Lebih dalam lagi nanti kita akan berbicara mengenai fasilitas pendukung belajar siswa yang masih sangat kurang.
Meskipun program Kartu Indonesia Pintar, Bangka Cerdas, dan beasiswa lainnya telah menyentuh siswa hingga ke sekolah-sekolah di kampung-kampung, kenyataannya tidak banyak mengarahkan siswa agar termotivasi giat belajar. Bahkan tidak banyak mengubah karakter siswa menjadi lebih bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran di sekolah. Padahal sasaran beasiswa dari pemerintah sudah cukup tepat dan patut diapresiasi.
Belum lagi cerita jenaka yang diperoleh dari guru-guru yang mengajar di pelosok. Bagaimana guru menunggu siswa ke sekolah setiap harinya. Ada yang datang kesiangan dengan alasan ngaret. Ada yang bahkan tidak datang karena ngelimbang atau menggantikan orang tua bekerja di sawit. Tuntutan gaya hidup remaja yang kian menakutkan, di mana gawai mereka harus selalu tersedia kuota, atau wajib punya motor saat jalan-jalan bersama teman, menjadi alasan yang membuat garuk-garuk kepala.
BACA JUGA:Partisipasi Masyarakat Jadikan Pesta Demokrasi Luber dan Jurdil
BACA JUGA:Meringkik di Atas Karang
Tragisnya lagi, baru-baru ini tersiar kabar seorang remaja seusia SMP yang menjadi korban pelampiasan syahwat seorang laki-laki paruh baya, seumuran ayahnya sendiri. Hanya bermodalkan gawai, diajak berbelanja, dan disekap di kontrakan kemudian. Apakah anak ini tidak bersekolah di waktu sekolah saat kejadian? Atau memang terjadi luar waktu sekolah? Bagaimana peran orangtuanya? Betapa mengerikannya saat anak-anak lebih dekat dengan gawai melebih kedekatan dengan orang tua, teman, dan gurunya.
Apakah bersekolah tidak menyenangkan sehingga anak tidak ingin pergi ke sekolah? Bersekolah, punya sahabat yang baik, pergaulan yang normal, sikap yang normatif bahkan tidak mampu membendung kejahatan bagi siswa di dunia maya? Mungkinkah ada ‘kekosongan’ yang menjemukan yang tidak mampu diisi dengan aktivitas di sekolah.
Sekolah seharusnya dapat menciptakan kenangan indah yang dapat dibagikan siswa kepada keluarganya di rumah. Secanggih-canggihnya teknologi, manusia membutuhkan manusia lain untuk menjaga kewarasannya. Pemerintah harus lebih peduli lagi dalam memberikan perhatian kepada dunia pendidikan dengan mengisi ‘kekosongan’ siswa yang disebutkan di atas. Misalnya dengan menyediakan dan memperbaharui bacaan siswa di perpustakaan, menggalakkan kembali majalah siswa yang mencakup sekolah se-kabupaten, dan lebih sering mengadakan lomba-lomba kepenulisan. Semakin bersemangat siswa menulis, maka mereka akan mencari bacaan yang bagus, sehingga literasi akan tumbuh subur kembali.
Nongkrong tidak melulu dapat dihabiskan di mall, atau pergi kafe. Perpustakaan sekolah, perpustakaan daerah, komunitas baca buku, bahkan toko buku akan jadi tempat refreshing yang asyik. Pembenahan seperti ini mungkin masih terasa jadul, tetapi tidak ada salahnya jika dicoba. Selain dapat mengatasi masalah literasi, ini juga bisa mengisi waktu luang mereka sehingga kebutuhan akan gawai pelan-pelan berkurang.
BACA JUGA:Aksi Melek Perubahan Iklim Fisika Kuat dan Siswa Peduli
BACA JUGA:Pilpres AS: Menunggu 'Rematch' Biden vs Trump
Jika literasi dan numerasi adalah api, maka jadikan bacaan sebagai kayu. Tidak ada bangsa yang maju dan berkembang dengan literasi yang rendah. Dengan menulis, maka budaya membaca akan tercipta, akan terjaga. Dengan fasilitas yang terus diperbaiki, tinggal tugas guru di sekolah untuk memacu agar siswa semangat berliterasi. Jangan sampai seperti ayam mati di lumbung padi. Pintar-pintarlah guru dalam memotivasi minat baca-tulis siswa di sekolah. Bahkan guru pun harus menjadi teladan dalam berliterasi. Guru dan siswa cerdas berliterasi ditambah dengan pengaplikasian kurikulum merdeka belajar saat ini akan jadi gandengan paling keren. Kelak, akan ada masanya mayoritas manusia Indonesia memiliki budaya yang terbiasa menuangkan ide, dan pengalaman yang kaya nilai-nilai pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran sepanjang hayat.(*)
*) Tiara Adelina, Guru Bahasa Indonesia SMPN 1 Sungailiat