BELITONGEKSPRES.COM - Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bersama dengan pelaku industri kreatif telah mengadakan pertemuan untuk membahas potensi dampak negatif dari pengetatan aturan rokok. Pengetatan aturan rokok yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan dianggap dapat berdampak serius pada masa depan industri kreatif nasional.
Direktur Industri Kreatif Film, Televisi, dan Animasi Kemenparekraf, Syaifullah Agam, mengungkapkan bahwa pertemuan dengan berbagai pemangku kepentingan di sektor industri kreatif telah diselenggarakan pada 21 Desember 2023. Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari diskusi yang diinisiasi oleh Dewan Periklanan Indonesia (DPI) dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) terkait dampak pasal tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
”Kan begini, Kemenkes (Kementerian Kesehatan) mengampu yang ada di bawahnya, Kemenparekraf juga mengampu yang ada di bawahnya dalam hal ini industri kreatif. Ketika industri ini bilang ada dampaknya, ya kita panggil mereka dampaknya seperti apa, implikasinya seperti apa,” ungkapnya, kepada wartawan.
Syaifullah mengatakan mesti ada jalan tengah yang ditempuh. Pihaknya membenarkan bahwa kesehatan penting. Meski begitu, sosial dan ekonomi juga penting. ”Maka kita lakukan koordinasi jadi maksud Kemenkes kan baik ya untuk mendorong kesehatan masyarakat cuma kan ada implikasinya yang negatif pada sosial ekonomi industrinya,” terangnya.
BACA JUGA:Hyundai New Palisade Dilengkapi Teknologi Hyundai Bluelink, Fitur Navigasi Built-In Paket Lengkap
BACA JUGA:EV Exhibition Sinergi Kolaboratif PLN Group Dorong Elektrifikasi Kendaraan di Indonesia
Dalam konteks kondisi saat ini, Syaifullah berharap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dapat melibatkan Kemenparekraf dan mempertimbangkan peran serta sektor industri kreatif dalam pembahasan RPP Kesehatan. ”bahwa ketika Kemenkes ini atau kementerian apapun lebih bagus kita koordinasi dan kita juga melibatkan jangan yang pro saja tapi juga yang kontra juga. Jadi kita harus cari jalan terbaik,” terusnya.
Dari pertemuan dengan para pelaku industri kreatif, Syaifullah menjelaskan, pihaknya meminta penjelasan lebih rinci tentang dampak negatif apa saja yang akan muncul. Terutama dari begitu banyak larangan promosi dan iklan produk rokok sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal pengaturan zat adiktif di RPP dimaksud.
Terpisah, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Janoe Arijanto membenarkan bahwa pertemuan dimaksud fokus membahas berbagai potensi dampak negatif dari RPP Kesehatan terhadap industri kreatif dan pariwisata. ”Pada dasarnya, di pertemuan tersebut Kemenparekraf berinisiatif mendengarkan aspirasi dari Industri kreatif, dari kawan-kawan Periklanan, Musik, Event, Televisi, Radio, dan Periklanan Digital,” jelasnya.
Pada pertemuan tersebut, lanjut Janoe, Kemenparekraf akan berperan sebagai fasilitator untuk menyampaikan aspirasi tersebut kepada Kementerian Kesehatan sebagai sektor utama yang menginisiasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan. Terlebih lagi, diyakini bahwa industri kreatif, yang merupakan sektor penggerak perekonomian masa depan, belum pulih sepenuhnya akibat dampak pandemi.
”Kita berterimakasih telah didengar oleh Kemenparekraf dan berharap Kemenparekraf bisa menjembatani sekaligus membantu agar RPP tersebut tidak mengorbankan eksistensi Industri kreatif,” harapnya.
Ketua Badan Musyawarah Etika Dewan Periklanan Indonesia (DPI) Hery Margono menambahkan bahwa salah satu fokus pembahasan adalah ketidakadilan dalam pengaturan iklan produk rokok. Seperti melarang total iklan rokok di media luar ruang dan di media digital padahal secara etika dan teknologi justru sangat memungkinkan untuk diatur.
”Itu kami sampaikan nggak masuk akal kenapa media ini nggak boleh. Media luar griya padahal dampaknya banyak sekali. Bahkan ada yang sampaikan juga ternyata walaupun belum disahkan pun di beberapa daerah sudah menerapkan larangan itu seperti di Kalimantan,” sesalnya.
Disesalkan juga soal larangan menyeponsori kegiatan seni kreatif lain seperti kegiatan musik yang dampaknya sangat masif, di mana satu acara berskala besar rata-rata menyerap jumlah tenaga kerja lepasan hingga lebih dari 3.000 orang. ”Padahal terutama musik itu rata-rata atau hampir semua (sponsornya) dari tembakau. Itu akan menyulitkan banget. Jadi kena banget,” tegasnya.