Menurut Budi, tindakan perusahaan membawa lima unit alat berat ke Pulau Seliu dan langsung membuka lokasi tanpa perizinan serta tanpa melalui proses pengurusan perizinan seperti sosialisasi, pengurusan AMDAL, dan lainnya, menunjukkan sikap arogan dan kurangnya niat baik dari pihak perusahaan. Hal ini jelas merupakan tindakan kelalaian dan pelanggaran hukum.
Belum lagi suara penolakan dari berbagai kelompok masyarakat sangat kuat, yang berpotensi memicu konflik. Sudah saatnya bagi aparat penegak hukum dan pembuat kebijakan di tingkat kabupaten dan provinsi untuk mengambil langkah antisipatif.
Dalam hal ini untuk meredam potensi konflik dan mencegah kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi. Budi menekankan bahwa dari pengalamannya dalam advokasi konflik teritorial dan ekstraktif, seringkali konflik melebar dan sulit diatasi, dan akibatnya lingkungan menjadi korban.
Pihak yang seharusnya dapat menghentikan dan mencegah konflik lebih baik berpikir untuk bertindak sejak awal, bukan menunggu situasi semakin buruk. Jangan sampai menunggu konflik memuncak, baru tindakan hukum diambil.
BACA JUGA:Lagi Bukti Korupsi Timah, Uang Tunai Rp10 Miliar dan SGD 2 Juta Disita
"Jika menunggu kedalaman konflik yang mungkin terjadi, menunggu bahan untuk delik hukum baru bergerak, sering kali kita menyaksikan masyarakat dan alam menjadi korban terbesar," ujar Budi kembali menegaskan.
Oleh karena itu, sudah selayaknya untuk tidak membiarkan hal ini terjadi di Pulau Seliu, yang sudah dikenal secara nasional dan internasional sebagai destinasi pariwisata. Berbagai investor telah menanamkan investasi dengan harapan untuk mengembangkan pariwisata berbasis lingkungan.
"Sejak awal, Desa Pulau Seliu Kecamatan Membalong ini direncanakan sebagai destinasi pariwisata hijau yang ramah lingkungan. Yang pastinya akan hancur dengan masuknya tambak udang di pulau kecil ini," pungkas Budi.