Dalam konteks bisnis media digital di mana hampir seluruh media massa saat ini mengandalkan platform berbasis internet, itu artinya tiadanya lalu lintas web. Padahal ini bagian teramat penting dalam mendatangkan iklan yang menjadi nyawa terpenting bisnis media.
Sebaliknya, situs web atau platform digital yang memperoleh konten dari perusahaan pers malah menikmati trafik web yang tinggi sehingga iklan masuk dan kemudian memberikan pendapatan ketika saat bersamaan perusahaan pers berinvestasi banyak untuk konten.
Di sini, ada ketidakadilan antara penyedia atau pembuat konten dengan penyalur konten, yakni berupa pembagian kue iklan yang tidak adil dan seimbang.
BACA JUGA:Melestarikan Bahasa Ibu sebagai warisan budaya
BACA JUGA:Asa masyarakat untuk Ibu Kota Nusantara
Alhasil, timbul kesenjangan antara mereka yang telah berinvestasi untuk memproduksi konten, dengan mereka yang meredistribusi konten, termasuk media sosial dan mesin pencari.
Intinya, di satu sisi ada devaluasi konten yang dirasakan pembuat konten, tapi di sisi lain terjadi surplus pendapatan dari mereka yang mengagregasi dan menyebarkan konten.
Konstruksi ini membuat pendapatan iklan makin terdilusi, yang kerap memaksa perusahaan pers mengurangi ketergantungan kepada iklan dan berinovasi untuk lebih bergantung pada pendapatan konten.
Demi keadilan digital
Namun upaya mengurangi ketergantungan kepada iklan dan berinovasi agar lebih menggantungkan diri kepada konten itu sulit sekali dilakukan ketika platform digital begitu memonopoli ruang siber.
Pemikiran seperti inilah yang mendorong sejumlah pembuat kebijakan di beberapa kawasan, termasuk Australia, Uni Eropa, dan Indonesia turun tangan memastikan perusahaan pers mendapatkan hak-haknya.
Bahkan pemerintah Australia saat ini berencana menjatuhkan denda kepada platform-platform digital yang menyebarluaskan hoaks dan disinformasi. Padahal, yang diuntungkan oleh hoaks adalah platform digital dan produsen hoaks sendiri karena merekalah yang dapat memonetisasi lalu lintas digital konten-konten bohong.
Manakala konten-konten semacam itu sudah sangat mengganggu tatanan kehidupan sehingga perlu dilawan, pers justru menjadi garda terdepan dalam memastikan kabar itu bohong dengan menyajikan informasi-informasi benar dan kredibel yang pastinya membutuhkan sumber daya dan investasi yang besar.
Ironisnya, perusahaan pers acap kesulitan memonetisasi konten anti-hoaks sehingga memperdalam persoalan ketidakadilan dalam monetisasi konten.
Di sinilah, intervensi kebijakan publik menjadi penting, apalagi tak ada yang bisa memaksa platform-platform digital membuka algoritma mereka. Pun tak ada yang menjamin mereka bebas dari intervensi pemerintah di mana mereka berbasis.
Kenyataannya, negara-negara seperti Amerika Serikat dan China sendiri kerap saling mencurigai imunitas platform-platform digital mereka dari campur tangan pemerintah mereka atas nama kepentingan nasional, khususnya dalam hal pengelolaan data pengguna.