KETIKA pemilu kian transaksional dan ugal-ugalan, mustahil membayangkan ”ada makan siang yang gratis”. Pemilu yang transaksional perlu ongkos yang besar, padat modal, dan kongsi politik yang menggurita. Itu sebabnya pemilu yang demikian membuat orang mudah menabrak hukum dan etika. Karena menganggap bahwa ”tak ada yang gratis dalam berpolitik”.
Istilah ”tidak ada makan siang yang gratis” sudah dikemukakan Milton Friedman melalui bukunya, There is No Such Thing as a Free Lunch (1975). Tidak ada makan siang yang gratis merujuk pada pertimbangan ekonomis dalam penyelesaian masalah sosial, ekonomi, dan politik. Istilah itu kemudian jadi konsep yang ikut menopang kebijakan pasar bebas di masa itu.
Di pemilu, situasi ketidakgratisan ini hadir dalam bentuk klientelisme politik, politik uang, dan pork barrel (gentong babi). Bahkan untuk sesuatu yang sering kali diklaim tanpa biaya alias gratis, sebenarnya punya harga yang harus dibayar. Membangun jaringan atau memperluas jangkauan orang dalam dan sebagainya. Berkenalan, merawat pertemanan, memberi hadiah, suap, kolusi, nepotisme, menjilat, dan lainnya butuh biaya politik yang tak murah.
Pemilu kita serupa itu –serbauang dan berbiaya tinggi. Tidak Ada Yang Gratis
BACA JUGA:Melestarikan Bahasa Ibu sebagai warisan budaya
BACA JUGA:Asa masyarakat untuk Ibu Kota Nusantara
Penting untuk berpikir soal implikasi makan siang gratis terhadap demokrasi. Caranya dengan menelusuri ”program makan siang gratis” yang dikampanyekan Prabowo-Gibran. Mumpung saat ini program itu masih debatable dan belum punya mekanisme jelas untuk diterapkan. Mulai skema pelaksanaan, potensi korupsi, arus modal yang bergerak dalam rantai pasok pangan, potensi perusakan lingkungan, hingga implikasi terhadap kebebasan berpendapat dan partisipasi publik. Sejumlah kalangan juga menaruh curiga dan mengaitkan program makan siang gratis dengan proyek food estate yang dikelola Prabowo dan potensi hilangnya diversifikasi pangan. Situasi buruk demokrasi bisa jadi adalah harga yang dibayar terhadap ”makan siang gratis”.
Sejumlah ilmuwan mencatat, kemunduran demokrasi kita disebabkan penyalahgunaan hukum dan lembaga penegak hukum, keberpihakan aparat penegak hukum, dan manipulasi aturan-aturan hukum yang memperkuat kekuasaan presiden (Power & Warburton, 2021). Bahkan, jumlah pemilih kita yang mayoritas kelas menengah rentan secara ekonomi, membuat kondisi politik jelang Pemilu 2024, ditandai kriminalisasi lawan politik, berakhirnya kampanye melawan korupsi, lemahnya aktivisme peradilan, resentralisasi politik, dan runtuhnya gerakan protes (Bakker, 2023). Dua kondisi ini menunjukkan pelemahan demokrasi secara struktural. Dan itu artinya, pelemahan demokrasi bisa lebih cepat jika dilegitimasi jika orang hanya berpikir soal makan gratis tanpa berpikir kritis.
Kita tak perlu cepat terpukau pada ide ”makan siang gratis”. Dalam eksperimen politik, program ini serupa kisah ”roti dan sirkus (panem et circenses)” di Romawi Kuno. Warga negara digiring secara sukarela untuk menanggalkan partisipasi politik dan sikap kritis dengan cara diberi makanan dan tontonan sirkus. Di Indonesia keterpukauan itu tampak pada ketertarikan publik atas bansos yang dipersonalisasi untuk memilih kandidat tertentu di pemilu. Sedangkan sirkus secara eksplisit dipertontonkan melalui gimik yang mencitrakan diri sebagai orang baik, ndeso, gemoy, dan atraksi joget-joget.
BACA JUGA:Mereguk Manisnya Nira Sambil Menjaga Gunung Palung
BACA JUGA:Membangun Timnas Putri Indonesia Lewat 'Tangan Besi' Satoru Mochizuki
Kisah roti dan sirkus jika diparalelkan dengan program makan siang gratis membawa kita pada slogan rezim Jokowi –kerja-kerja-kerja. Slogan yang seolah menomorduakan karakter berpikir bebas dan memola ritme bernegara persis pasar. Makan siang gratis dan slogan kerja-kerja-kerja juga jika dipadukan persis di tengah buruknya demokrasi punya pretensi kuat terhadap penyingkiran partisipasi publik dan kebebasan berpendapat.
Tidak Sekadar Makan
Barangkali program makan siang gratis mirip dengan program makanan tambahan di era Orde Baru. Program makanan tambahan diberlakukan pada 1997 melalui Instruksi Presiden Soeharto Nomor 1 Tahun 1997 tentang Program Makanan Tambahan Anak Sekolah. Tujuannya lugas, agar ketahanan fisik bisa mendorong minat dan kemampuan belajar siswa untuk berprestasi. Asumsi ini bukan ujug-ujug, tapi paralel dengan kampanye negara Orde Baru soal stabilitas politik dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan.
Kampanye yang ditopang penciptaan situasi politik yang tertib, kenyang, dan tak banyak protes sebagai bentuk ideal dari masyarakat harmonis. Di balik program makanan tambahan, negara Orde Baru tidak hanya mengalokasikan anggaran yang besar. Tetapi juga mengorbankan kebebasan berpolitik warga sebagai harga yang harus dibayar dengan dalih stabilitas dan pembangunan tadi.