KASUS demi kasus perundungan kian mencoreng wajah pendidikan di Indonesia. Kasus perundungan berujung kelumpuhan di Belitung Timur pada awal tahun 2025 ini menjadi salah satu sinyal bahwa perbuatan merundung ternyata tetap konsisten, walaupun pemerintah sudah menggaungkan Sekolah Ramah Anak (SRA) hingga program-program lainnya.
Perundungan atau bullying merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh sekolah-sekolah di seluruh dunia. Perundungan di sekolah dapat berdampak negatif pada perkembangan emosional, sosial, dan akademik siswa. Perundungan didefinisikan sebagai perilaku agresif atau tindakan menyakiti yang disengaja oleh teman sebaya yang dilakukan berulang kali dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan (Wolke & Lereya, 2013).
Karimah, dkk. (2024) mendeskripsikan perundungan adalah segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan secara sengaja oleh orang atau kelompok yang lebih kuat untuk mengintimidasi atau mendominasi orang lain yang dianggap lebih lemah.
Problematika sosial ini tak hanya berefek pada korban, namun juga pada pelaku dan saksi perundungan, yang mana mereka berpotensi mengalami gangguan psikologis dan perilaku di masa depan.
BACA JUGA: Bupati Beltim Tindaklanjuti Kasus Perundungan Siswi, Panggil Seluruh Kepala Sekolah
Ada berbagai macam penyebab terjadinya perundungan di lingkungan pendidikan atau sekolah. Diao, dkk. (2023) menyebutkan dalam risetnya bahwa penyebab penindasan di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori besar, yaitu perbedaan korban, budaya teman sebaya yang tidak tepat, dan kurangnya pendidikan di sekolah dan keluarga.
Perilaku bullying di lingkungan pendidikan juga dapat disebabkan oleh hierarki sosial yang tidak tertulis, sehingga anak-anak yang populer atau berkuasa lebih mungkin menunjukkannya (Maharani, 2024).
Selain itu, hasil studi Moļņika (2023) menginformasikan bahwa penyebab penindasan di sekolah itu meliputi kekurangan fisik teman sebaya, jenis kelamin, ketidaksetaraan sosial, keberagaman etnis, bahasa, dan budaya, serta identitas gender. Artinya, berbagai jenis perbedaan ini menjadi akar dalam memantik api perundungan.
Bullying atau perundungan telah menjadi masalah global yang diteliti sejak 1970-an, dimulai di Skandinavia (terutama di Swedia dan Norwegia) oleh Dan Olweus. Owelus menyoroti dampak serius bullying terhadap korban, termasuk depresi dan penurunan prestasi.
Tahun 1990-an, beberapa kasus perundungan viral, seperti pembunuhan Bobby Kent pada 1993 yang menarik perhatian media dan diangkat menjadi film "Bully" pada tahun 2001.
Dengan kemajuan teknologi di abad ke-21, cyberbullying muncul sebagai bentuk perundungan baru. Perundungan siber ini ditandai dengan kasus tragis seperti Megan Meier pada 2006 dan Amanda Todd pada 2012 yang berakhir pada bunuh diri.
BACA JUGA:Polres Beltim Perkuat Pencegahan Perundungan di Sekolah, Fokus Edukasi dan Kesadaran
Perundungan siber terus berkembang seiring penggunaan media sosial dan gim berbau kekerasan. Contohnya, penelitian Dittrick, dkk. (2013) memaparkan bahwa anak-anak yang bermain gim video yang mengandung unsur kekerasan dan dewasa cenderung melakukan perundungan dan penindasan maya terhadap teman-temannya.
Bahkan, memainkan video game yang penuh kekerasan telah menjadi faktor moderasi terkuat antara kepribadian psikopat dan perilaku bullying pada pengguna telepon pintar yang bermasalah (Miran, dkk., 2023).
Selain itu, ada pula perundungan siber di media sosial. Contohnya, riset perundungan di social media Tiktok terhadap Remaja SMP (Yessi Mareta Andari, dkk., 2023). Penelitian ini mengkaji perundungan siber pada aplikasi media sosial TikTok terhadap pemuda/ pemudi di usia remaja SMP.