BELITONGEKSPRES.COM - Selama bertahun-tahun, para ahli kesehatan telah berdebat tentang efektivitas Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai ukuran kesehatan yang andal. Meskipun ukuran pinggang telah dianggap sebagai indikator penting untuk memprediksi risiko penyakit jantung, sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa baik IMT maupun ukuran pinggang mungkin bukan prediktor utama.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa lemak intermuskular, yaitu lemak yang terakumulasi di dalam otot, dapat menjadi indikator yang lebih akurat terkait risiko penyakit jantung.
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan kadar lemak intermuskular yang lebih tinggi memiliki risiko lebih besar terhadap kematian dan rawat inap akibat serangan jantung atau gagal jantung, terlepas dari ukuran IMT atau pinggang mereka.
Profesor Viviany Taqueti, yang memimpin penelitian tersebut, mengungkapkan bahwa obesitas kini menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan kardiovaskular. Namun, IMT sebagai metrik utama untuk mengidentifikasi obesitas dan menentukan ambang batas intervensi tetap menjadi kontroversial. Ini terutama berlaku bagi wanita, di mana IMT yang tinggi tidak selalu mencerminkan jenis lemak yang berisiko tinggi.
BACA JUGA:Orang Tua Wajib Perhatikan! Ini Makanan yang Harus Dihindari Agar Anak Tidur Nyenyak
BACA JUGA:Ini 5 Sumber Nutrisi yang Mampu Meningkatkan Suasana Hati
Studi ini melibatkan 669 pasien di Rumah Sakit Brigham and Women's dengan usia rata-rata 63 tahun, yang mengalami nyeri dada atau sesak napas tetapi tidak menunjukkan bukti penyakit arteri koroner obstruktif.
Para peserta menjalani pemindaian PET/CT untuk mengevaluasi fungsi jantung dan analisis komposisi tubuh melalui pemindaian CT. Peneliti memperkenalkan ukuran baru yang disebut fraksi otot berlemak, yang mengukur rasio lemak intermuskular terhadap total otot dan lemak.
Hasil analisis menunjukkan bahwa peserta dengan fraksi lemak otot yang lebih tinggi memiliki risiko dua persen lebih besar mengalami disfungsi mikrovaskular koroner (CMD) dan tujuh persen lebih tinggi untuk mengembangkan penyakit jantung serius di masa depan, dengan setiap peningkatan satu persen dalam fraksi lemak otot.
Menurut Taqueti, lemak yang tersimpan di otot dapat memicu peradangan dan perubahan dalam metabolisme glukosa, yang berpotensi menyebabkan resistensi insulin dan sindrom metabolik.
Gangguan-gangguan ini, pada gilirannya, dapat merusak pembuluh darah, termasuk yang mengalirkan darah ke jantung, serta merusak otot jantung itu sendiri. (antara)