BACA JUGA:Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon: Desa Budaya Adalah Jantung Kebudayaan Indonesia
Electrische Centrale (EC) di Bukit Samak, eks pembangkit listrik tenaga diesel juga merupakan peninggalan yang kaya makna. Karena merupakan pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara pada zamannya.
Namun, pelestarian cagar-cagar budaya ini masih menghadapi tantangan besar. Sebagian besar objek cagar budaya belum ditetapkan secara resmi, dan beberapa di antaranya membutuhkan pemugaran agar tidak hilang ditelan zaman. Oleh karena itu, upaya kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah menjadi krusial.
Menghidupkan Kebudayaan Lewat Festival
Sebagai bentuk aktualisasi budaya, Desa Lalang rutin menggelar Festival Nepak Belulang, termasuk di tahun 2024 ini di Lapangan Taruna Manggar dari 15-17 Desember 2024. Festival ini tidak hanya memperkenalkan seni Hadrah kepada khalayak luas, tetapi juga menjadi wadah regenerasi bagi pelaku seni.
Selain itu, peringatan Hari Jadi Desa Lalang dirayakan dengan menampilkan ragam budaya lokal lainnya, mulai dari Tari Selamat Datang, Berebut Lawang, tradisi Ngaso Pajangan, seni pertunjukan, hingga kuliner khas. Dalam festival tahun ini juga terdapat lomba ”Ngayun”, yakni lomba menidurkan anak. Hal ini juga yang menjadikan desa ini sebagai destinasi wisata berbasis budaya.
Tantangan dan Harapan untuk Masa Depan
Pelestarian kebudayaan di Desa Lalang bukan tanpa hambatan. Minimnya data komprehensif tentang tradisi, ritus, dan seni menjadi salah satu kendala utama. Walaupun sudah dilakukan pendataan secara terus-menerus dan memiliki Tim Dokumen Pemajuan Desa (DPKD). Kurangnya regenerasi pelaku budaya juga mengancam keberlanjutan warisan ini. Untuk itu, pembinaan dan pelatihan bagi generasi muda perlu ditingkatkan.
Meskipun demikian, langkah-langkah strategis telah dirumuskan dalam Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD) tahun 2023. Dokumen ini mencakup rencana pengembangan budaya selama lima tahun ke depan, dengan fokus pada pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan objek budaya. Dengan dukungan dari semua pihak, Desa Lalang dapat terus menjadi mata air budaya yang menghidupi Belitung Timur.
Tantangan Global Pengembangan Desa
Desa Lalang menghadapi tantangan global yang signifikan dalam pengembangan berbasis budaya. Urbanisasi menjadi salah satu isu utama, di mana penduduk muda sering meninggalkan desa untuk mencari peluang di daerah/ kota lainnya, sehingga tradisi lokal rentan tergerus waktu. Selain itu, tekanan ekonomi global membuat usaha kecil berbasis tradisional sulit bersaing tanpa inovasi.
BACA JUGA: Legenda Manis Dodol Agar dari Kampong Lalang, Warisan Budaya yang Terus Hidup di Beltim
Di sisi lain, digitalisasi menghadirkan peluang sekaligus tantangan karena membutuhkan kemampuan teknologi yang belum merata di masyarakat desa. Untuk menghadapi tantangan ini, digitalisasi budaya lokal dapat menjadi solusi penting. Pemerintah desa dapat bekerja sama dengan Dinas Komunikasi dan Informasi setempat, atau startup untuk mendokumentasikan tradisi lokal melalui platform digital, seperti yang dilakukan Desa Penglipuran di Bali.
Selain itu, penguatan UMKM berbasis budaya melalui pelatihan kewirausahaan, pengemasan modern, dan akses pasar daring dapat meningkatkan nilai produk khas seperti Suto Belitong dan kerajinan Ambong. Pelatihan SDM dan regenerasi pelaku budaya juga krusial, dengan melibatkan generasi muda melalui program seperti Festival Nepak Belulang.
Wisata budaya berbasis cagar budaya, seperti pemanfaatan bekas pelabuhan Oliepier, Rumah Dinas Bupati (Rumah Muncong A2) dan SMK Stania Manggar (Ambacht Cuursus), sebagai destinasi edukatif dapat dikembangkan dengan dukungan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) atau kerja sama dengan sekolah, universitas maupun support system lainnya. Dengan pendekatan ini, Desa Lalang dapat mengatasi tantangan global sekaligus melestarikan warisan budayanya secara berkelanjutan.
Penutup