Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dinilai Ancam Penerimaan Negara dan Pertumbuhan Ekonomi

Ilustrasi rokok. Dok. JawaPos--

BELITONGEKSPRES.COM - Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang dirumuskan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 menimbulkan kekhawatiran atas dampaknya terhadap penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi nasional. 

Langkah ini dipandang dapat menekan penerimaan negara dan menghadirkan tantangan bagi perekonomian, terutama bagi pemerintahan baru yang memiliki target pertumbuhan ekonomi ambisius.

Ari Kusuma, Subdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, menyoroti pentingnya mempertimbangkan ekosistem pertembakauan secara menyeluruh dalam penyusunan kebijakan. Ia menyatakan bahwa cukai hasil tembakau (CHT) menyumbang sekitar 12,2 persen dari total penerimaan pajak negara, menjadikannya sektor yang signifikan bagi perekonomian.

“Dalam membuat kebijakan, peran sektor ini harus diperhitungkan, dan harus melibatkan banyak pihak, tidak bisa hanya dilihat dari satu perspektif,” ungkap Ari dalam sebuah diskusi publik di Jakarta.

BACA JUGA:BPKH Jadikan Fatwa Ijtima Ulama sebagai Panduan dalam Pengelolaan Dana Haji

BACA JUGA:Joni Pemanjat Tiang Bendera Lulus Seleksi Calon Bintara TNI AD

Ari juga mengungkapkan kekhawatiran akan meningkatnya rokok ilegal jika aturan kemasan rokok polos diterapkan. Berdasarkan data, penyebaran rokok ilegal meningkat dari 5,5 persen pada 2022 menjadi 6,9 persen pada 2023. 

Hal ini menimbulkan tantangan besar bagi penerimaan cukai dan produksi industri tembakau, yang pada akhirnya akan mempengaruhi stabilitas penerimaan negara.

Sementara itu, Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, menambahkan bahwa kebijakan ini dapat memberikan efek negatif yang meluas, terutama bagi pemerintahan baru yang memerlukan dukungan anggaran untuk mencapai target penerimaan yang belum tercapai dalam tiga tahun terakhir. Tauhid juga menyoroti kurangnya transparansi dan partisipasi pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan ini.

“Kebijakan ini bisa menjadi beban besar bagi pemerintah baru, khususnya dalam konteks penerimaan negara, pekerja, dan industri tembakau,” ujar Tauhid Ahmad.

BACA JUGA:Prabowo Rencanakan Bentuk Kementerian Penerimaan Negara, Ini Tugas dan Fungsinya

BACA JUGA:Perubahan Iklim Picu Cuaca Kering, BMKG: Perlu Langkah Mitigasi Iklim

Berdasarkan studi INDEF, penerapan PP 28/2024 dan RPMK terkait pengamanan produk tembakau dapat menghilangkan dampak ekonomi hingga Rp 308 triliun, atau setara dengan 1,5 persen dari PDB. 

Selain itu, penerimaan perpajakan diperkirakan dapat kehilangan hingga Rp 160,6 triliun, sementara dampak terhadap tenaga kerja bisa memengaruhi 2,3 juta pekerja di sektor industri tembakau.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan