Hendrya Sylpana

Aturan Kemasan Polos Rokok: Solusi Kesehatan atau Ancaman bagi Industri Tembakau?

Ilustrasi, kemasan rokok polos. (freepik)--

BELITONGEKSPRES.COM - Dalam merumuskan kebijakan baru terkait kemasan polos tanpa merek untuk produk rokok, yang saat ini sedang dibahas dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), perhatian penuh terhadap dampak ekonomi menjadi sangat penting. 

Merrijantij Punguan Pintaria, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), menyoroti perlunya keseimbangan antara tujuan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan industri tembakau.

Ia menegaskan bahwa kesehatan masyarakat memang penting, namun tidak boleh diabaikan fakta bahwa lebih dari 1.300 industri tembakau memberikan pekerjaan langsung kepada sekitar 537 ribu orang, serta menyediakan sumber penghidupan bagi lebih dari 6 juta tenaga kerja lainnya, termasuk petani tembakau dan cengkih hingga pedagang ritel.

Merrijantij juga mencatat bahwa selama lima tahun terakhir, industri tembakau mengalami penurunan, terutama pada segmen rokok premium, dengan penurunan sebesar 8,02 persen. 

Penurunan ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat sangat sensitif terhadap harga, sehingga terjadi pergeseran konsumsi ke rokok yang lebih terjangkau. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat dalam pembuatan kebijakan terkait kemasan rokok.

BACA JUGA:Landasan Pacu Bandara IKN Berhasil Diuji, Pesawat Kepresidenan Sudah Bisa Mendarat

BACA JUGA:Kasus Perundungan di Lingkungan Sekolah Kian Marak, Ini Langkah Pencegahannya

Lebih lanjut, ia mengkritik bahwa dalam proses penyusunan aturan yang diatur dalam Pasal 435 PP 28/2024 mengenai standardisasi kemasan produk tembakau, Kemenperin tidak dilibatkan dalam proses dengar pendapat publik yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). "Kami berharap bisa dilibatkan dalam diskusi yang berdampak besar pada industri kami," ujarnya.

Merrijantij juga menyoroti bahwa kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, meskipun diterapkan di beberapa negara, tidak secara langsung menurunkan prevalensi perokok. Justru, ada risiko peningkatan peredaran rokok ilegal. 

Ia menegaskan bahwa industri tembakau telah memberikan kontribusi signifikan bagi penerimaan negara, mencapai Rp213 triliun, sehingga setiap kebijakan yang berdampak pada pendapatan negara harus dipertimbangkan dengan cermat.

Kontribusi ekonomi industri tembakau juga sangat signifikan. Merrijantij mengungkapkan bahwa pada tahun 2020, kontribusi industri tembakau terhadap APBN mencapai 10 persen, meskipun menurun menjadi 7 persen pada 2023. Hal ini, menurutnya, memperlihatkan pentingnya kebijakan yang adil dan seimbang.

BACA JUGA:Dorong Pertumbuhan UMKM, Kemenkop UKM dan BPOM Kolaborasi dalam Perizinan Edar Produk

BACA JUGA:Bandara Soekarno-Hatta Raih Penghargaan Fasilitas Teramah Disabilitas di DTKJ Award 2024

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Perusahaan Indonesia (Gappri), Henry Najoan, turut menyuarakan keprihatinan terhadap kebijakan baru ini. Ia mengkritik ketatnya peraturan dalam PP 28/2024 yang mengatur desain dan kemasan rokok, serta RPMK yang dianggap terlalu represif. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan