Komnas Perempuan Kritik Tes Kehamilan di Sekolah: Melanggar Hak Reproduksi
Video siswi SMA Sulthan Baruna menjalani tes kehamilan viral di media sosial--Istimewa
BELITONGEKSPRES.COM - Kebijakan tes kehamilan yang diterapkan di SMA Sulthan Baruna, Cianjur, Jawa Barat, menjadi topik perdebatan hangat. Di satu sisi, sekolah mengklaim langkah ini bertujuan mencegah pergaulan bebas dan melindungi siswi dari potensi risiko. Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut dinilai berisiko melanggar hak privasi dan hak reproduksi para siswi.
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor dengan tegas mengkritik kebijakan ini. Ia menekankan bahwa guru tidak memiliki dasar kewenangan untuk meminta siswi menjalani tes kehamilan. "Setiap siswi berhak melindungi dan menjaga organ reproduksinya. Tes semacam ini tidak hanya melanggar privasi, tetapi juga hak reproduksi mereka," ungkap Maria Ulfah saat diwawancarai oleh Beritasatu.com, Sabtu, 25 Januari.
Menurut Maria, upaya untuk mengatasi isu sosial seperti pergaulan bebas dan kejahatan seksual harus dilakukan melalui pendekatan yang lebih manusiawi, seperti edukasi kesehatan reproduksi. Langkah ini dinilai lebih efektif dalam membangun kesadaran dan tanggung jawab di kalangan remaja.
"Setiap individu, termasuk para siswi, memiliki hak konstitusional atas informasi dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi dan seksual. Negara dan institusi pendidikan wajib menghormati, melindungi, serta memenuhi hak-hak tersebut," tegas Maria.
BACA JUGA:Kembalikan Akses Nelayan: 11,75 Kilometer Pagar Laut di Tangerang Sudah Bongkar
BACA JUGA:Puluhan Siswi SMA Sulthan Baruna Cianjur Dilakukan Tes Kehamilan, Picu Perdebatan Etika dan Privasi
Selain itu, kebijakan tes kehamilan berpotensi menciptakan stigma yang merugikan siswi, terutama jika hasil tes disalahgunakan atau dijadikan bahan pembicaraan. Maria menyoroti bahwa pendekatan ini justru dapat merusak rasa aman dan kepercayaan siswa terhadap institusi pendidikan.
Komnas Perempuan mendorong agar sekolah lebih memprioritaskan metode yang mendukung perkembangan mental dan emosional siswi. "Edukasi, konseling, dan pendampingan psikologis adalah cara yang lebih konstruktif untuk mencegah perilaku yang dianggap berisiko," tambah Maria.
Sebagai langkah evaluasi, Maria menyerukan agar kebijakan ini ditinjau ulang demi menciptakan keseimbangan antara tanggung jawab sekolah dalam menjaga moralitas dan hak asasi manusia para siswa. Sekolah diharapkan mampu menjadi ruang yang aman, suportif, dan mendidik tanpa melanggar hak-hak dasar siswi. (beritasatu)