Menggali Akar Perilaku Manusia (Catatan Perjalanan Program APS 2024)

Ares Faujian--

Menurut Geert Hofstede (1991), ia mengungkapkan bahwa budaya adalah perangkat lunak pikiran, yang mana ihwal ini memengaruhi bagaimana seseorang berperilaku dalam lingkungan sosialnya. Dimensi culture atau budaya dalam model CuPS ini mencakup berbagai level. Tingkatan-tingkatan ini dimulai dari budaya nasional yang mencerminkan nilai-nilai kolektif sebuah negara, hingga budaya regional, profesional, perusahaan, bahkan nilai-nilai dan sikap secara individu. 

Misalnya di perusahaan multinasional, kita bisa melihat bagaimana budaya perusahaan (corporate culture) memengaruhi cara orang bekerja, berinteraksi, menykapi waktu, hingga pengambilan suatu keputusan. Jika seorang pegawai yang bekerja di Google dengan budaya inovasi dan keterbukaan, berpotensi mengalami kekagetan ketika pindah ke perusahaan yang lebih hirarkis dan konservatif dalam pengambilan keputusan.

BACA JUGA:Program DeBest Jiwa Implementasi Pencegahan Stunting Anak 0-24 Bulan

Selain budaya, dimensi individu (person) juga memainkan peran penting dalam membentuk perilaku sosial. Aspek seperti kepribadian, usia, gender, latar belakang sosial, disposisi pribadi, dan suasana hati memengaruhi bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain. Carl Jung (1959), psikolog dalam teorinya tentang kepribadian menjelaskan bahwa setiap individu membawa "archetype" atau kebutuhan dasar yang berbeda-beda. Ihwal ini menentukan cara mereka merespon dunia luar. Misalnya, orang yang introver akan lebih nyaman dalam situasi yang tenang dan privat. Di samping itu,  orang dengan kepribadian ekstrover lebih suka melakukan interaksi sosial dengan kondisi yang ramai dan terbuka.

Kemudian, ada pula dimensi situasi (situation). Dimensi situasi ini mengacu pada konteks di mana perilaku terjadi. Faktor-faktor seperti publik atau privat, formal atau informal, lokasi, kebisingan, hingga aspek waktu bisa juga memengaruhi cara seseorang berperilaku. Misalnya dalam sebuah presentasi formal di tempat kerja/ sekolah, kita cenderung berperilaku lebih tertib dan terstruktur dibandingkan dengan saat berbicara dalam pertemuan informal di kafe atau tempat wisata. Philip Zimbardo (2007), dalam eksperimen penjara Stanford-nya menunjukkan bagaimana situasi ekstrem juga bisa memengaruhi perilaku manusia secara signifikan.

Setelah mengetahui model CuPS dari Dov Cohen, apa yang telah Anda temukan untuk menganalisis pertemuan dengan orang lain nantinya? Menurut Anda, sejauh mana budaya, kepribadian, atau konteks tertentu dari individu tersebut berperan dalam menciptakan situasi yang berbenturan dengan Anda, dan mengapa? 

BACA JUGA:Melestarikan Bahasa Sentani dari Sekolah

Penutup

Perilaku manusia ialah hasil dari interaksi kompleks antara budaya, individu, dan situasi. Perbedaan yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari merupakan bagian dari diversitas alami yang tercipta karena pengaruh konteks sosial, budaya, dan lingkungan yang membentuk individu. Model Culture-Person-Situation atau CuPS ini telah mendeskripsikan bahwa tantangan dalam diversitas tak hanya ada dari perbedaan budaya, tetapi juga dari kepribadian individu dan situasi sosial yang dihadapi. Bahkan bisa kombinasi dari ketiganya. 

Pentingnya memahami konteks budaya, serta faktor-faktor lain seperti kepribadian dan situasi, membantu kita mencegah salah paham dan menciptakan harmoni dalam masyarakat yang semakin beragam. Dengan wawasan lintas budaya, kita bisa lebih adaptif dan mampu berinteraksi dengan lebih baik, serta melihat perbedaan sebagai kekuatan bukan hambatan. Pemahaman mendalam tentang akar perilaku manusia ini memberikan fondasi untuk menciptakan solusi-solusi yang tepat dalam konteks masyarakat multikultural dan masyarakat global yang super diversitas.

Oleh: Ares Faujian

America Field Service (AFS) Global Educator dan Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sosiologi Kabupten Belitung Timur

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan