Program DeBest Jiwa Implementasi Pencegahan Stunting Anak 0-24 Bulan
Seorang balita menjalani timbangan badan menggunakan alat ukur antropometri berstandar di Posyandu Mawar Merah, Bantul, Yogyakarta, Sabtu (11/2/2023). ANTARA/Andi Firdaus--
Pemerintahan baru menghadapi tantangan besar dalam mengatasi masalah stunting yang masih menjadi isu serius di Indonesia.
Stunting bukan hanya masalah kesehatan, melainkan masalah pembangunan manusia yang berkelanjutan, karena anak-anak yang mengalami tengkes akan mengalami hambatan dalam perkembangan fisik dan kognitifnya. Hal ini tentu akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Oleh karena itu, dalam Strategi Transformasi Bangsa, Pemerintah baru menekankan pentingnya meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui perbaikan kualitas hidup dan kesehatan, salah satunya dengan mengatasi masalah stunting. Visi-misi ini tercermin dalam komitmen untuk memberikan asupan makanan bergizi bagi ibu hamil, bayi, dan balita sebagai upaya pencegahan tengkes.
Stunting adalah kondisi di mana anak memiliki tinggi badan yang jauh lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya akibat kurangnya asupan gizi kronis, terutama selama periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), yaitu sejak kehamilan hingga anak berusia 2 tahun.
BACA JUGA:Melestarikan Bahasa Sentani dari Sekolah
Penyebab stunting sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosial. Faktor biologis meliputi kurangnya asupan gizi pada ibu hamil yang berdampak pada berat badan lahir rendah (BBLR) pada bayi, kurangnya penggunaan layanan kesehatan selama masa kehamilan (ante natal care/ANC), pemberian ASI eksklusif yang tidak memadai, serta kurangnya pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang bergizi. Selain itu, faktor seperti layanan imunisasi yang tidak optimal dan penyakit infeksi yang sering diderita bayi juga dapat berkontribusi pada terjadinya stunting.
Selain faktor biologis, faktor psikologis juga berperan dalam terjadinya stunting. Salah satu contohnya adalah depresi pada ibu hamil atau pascamelahirkan, yang dapat mengganggu hubungan emosional antara ibu dan anak. Ibu yang mengalami depresi cenderung kurang memberikan perhatian, kasih sayang, dan stimulasi psikososial yang baik kepada anaknya. Hal ini berpengaruh pada perkembangan anak, baik secara fisik maupun mental, yang pada akhirnya dapat memperbesar risiko stunting. Stimulasi psikososial yang minim juga berkontribusi terhadap terganggunya perkembangan kognitif anak, yang merupakan salah satu dampak serius dari tengkes.
Faktor sosial, seperti rendahnya akses keluarga terhadap makanan bergizi, air bersih, dan sanitasi yang baik, juga berperan besar dalam menyebabkan stunting. Hal ini umumnya terkait dengan kondisi ekonomi keluarga yang kurang mendukung. Di berbagai daerah di Indonesia, masih banyak rumah tangga yang kesulitan mendapatkan bahan makanan bergizi yang dibutuhkan oleh anak-anak mereka. Sanitasi yang buruk juga menjadi penyebab meningkatnya penyakit infeksi yang memperburuk kondisi kesehatan anak dan membuat mereka rentan terhadap stunting.
Desa bebas stunting
BACA JUGA:Rapat Terakhir Menhan di Komisi I DPR Sebelum Prabowo Jadi Presiden
Untuk mengatasi stunting di tingkat desa, Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Angkatan 17 Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) Universitas Indonesia melaksanakan Program Desa Bebas Stunting Sehat Jiwa (DeBest Jiwa), yang merupakan inovasi dana hibah DPPM UI 2024. Program ini dirancang untuk memberikan edukasi kepada ibu-ibu tentang pentingnya gizi dan stimulasi perkembangan anak, serta menyediakan terapi kelompok terapeutik untuk meningkatkan kualitas interaksi antara ibu dan anak.
Pendekatan holistik ini tidak hanya mencakup intervensi gizi spesifik dan sensitif, tetapi juga dukungan psikososial yang sangat penting bagi perkembangan anak. Program ini melibatkan masyarakat secara aktif dalam penyuluhan gizi dan stimulasi perkembangan anak sehingga diharapkan dapat mempercepat penurunan angka stunting di Indonesia.
Program DeBest Jiwa dilaksanakan dalam dua tahap utama. Tahap pertama adalah pendampingan keluarga melalui penyuluhan tentang stunting dan cara pencegahannya, serta memberikan pola asuh yang tepat dalam hal nutrisi untuk bayi berusia 0--24 bulan. Hal ini bertujuan agar ibu-ibu memahami pentingnya pemberian gizi yang tepat pada masa-masa kritis perkembangan anak. Tahap kedua adalah terapi kelompok terapeutik (TKT) yang ditujukan untuk bayi usia 0--24 bulan, dengan fokus pada upaya meningkatkan perkembangan anak, baik dari aspek fisik maupun mental.
BACA JUGA:Memahami Tata Kelola Uang Negara