Saksi Kasus Korupsi Timah, Penambangan Liar Marak Pasca UU Otonomi Daerah

Sidang 4 terdakwa kasus korupsi timah dengan para penasehat hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta (Ist)--

JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM - Pertanyaan yang sering muncul adalah, kapan sebenarnya penambangan timah oleh masyarakat atau penambangan liar mulai marak dan masif di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel)?

Menurut Ahmad Syamhadi, seorang saksi dari PT Timah Tbk, penambangan liar di daerah Babel mulai berkembang pesat setelah berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah. 

"Sejak UU otonomi daerah diberlakukan, masyarakat secara signifikan dan meluas terlibat dalam penambangan liar," ungkap Syamhadi dalam persidangan kasus tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk untuk periode 2015-2022 di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis 12 September 2024.

Saksi tersebut memberikan keterangan dalam sidang yang membahas kasus empat terdakwa, termasuk Tamron (alias Aon) sebagai pemilik tambang di Koba Bangka Tengah (Bateng), Kwan Yung alias Buyung, Hasan Tjhie selaku Direktur Utama, dan Achmad Albani sebagai manajer operasional tambang.

BACA JUGA:Fakta Baru Kasus Korupsi Timah, Ada Pertemuan 'Rahasia' Harvey Moeis di Polda Babel

BACA JUGA:Mulkan Buka-Bukaan Soal Kotak Kosong di Pilkada Bangka 2024, Klarifikasi di Hadapan HIPMI

GM Produksi PT Timah Syamhadi mengaku tidak mengetahui asal usul pasir timah yang diekspor oleh smelter-smelter pada waktu itu. Namun, dia tidak membantah bahwa setelah diluncurkannya program penyelamatan aset, banyak pasir timah yang mulai masuk ke PT Timah.

"Setelah program SHP (Sisa Hasil Produksi) diterapkan, banyak penambang liar yang menjual pasir timah mereka ke PT Timah dan menyerahkannya kepada pos Pospam," jelas Syamhadi.

Dia juga mengungkapkan bagaimana penambangan liar berkembang secara masif hingga terjadi penambangan ilegal di berbagai IUP PT Timah.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Ketua Toni Irfan dengan anggota hakim Teguh Santoso dan Purwanto Abdullah, juga dibahas mengenai praktik sewa-menyewa smelter seperti yang tercantum dalam dakwaan.

BACA JUGA:Tersangka Kasus 'Tanam Pisang Tumbuh Sawit' Angkat Bicara, Minta Perlindungan ke Prabowo

BACA JUGA:Dorong Potensi Laut, DPRD Babel Sambangi KKP RI dan DKPKP DKI Jakarta

Menurut Syamhadi, hal tersebut seharusnya tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT Timah, yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. "Itu seharusnya termuat dalam RKAB," tambahnya.

Menurutnya, kerjasama dengan smelter juga tidak disertai dengan studi kelayakan atau Feasibility Study (FS). "Saya mencari informasi, dan ternyata FS-nya justru dibuat mundur. Semua administrasi diatur dengan tanggal mundur," tukasnya. (Babel Pos)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan