Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

Mengapa Sekolah Berbasis Agama Kian Diminati?

Sejumlah pelajar mengikuti ujian semester berbasis online dengan menggunakan android di sekolah pedalaman Madrasah Tsanawiyah Negeri 6 Aceh Barat di Kecamatan Arongan Lam Balek, Aceh, Senin (2/12/2019)-SYIFA YULINNAS-ANTARA FOTO

"Saatnya sistem pendidikan nasional memberi ruang lebih besar bagi pendekatan pedagogis yang membentuk manusia seutuhnya, yang mencintai sesama manusia, lingkungan hidup dan Tuhan penciptanya, bukan sekadar urusan administratif dan lulusan berijazah"

JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM - Fenomena meningkatnya minat masyarakat terhadap sekolah berbasis agama atau sekolah agama menjadi sorotan penting dalam lanskap pendidikan nasional.

Beragam sekolah agama, baik madrasah, sekolah Kristen, maupun Katolik, kini menjadi pilihan utama banyak orang tua, bahkan ketika sekolah negeri tersedia secara gratis.

Meskipun sekolah agama yang diinisiasi oleh swasta ini lebih mahal, mereka tetap dipilih oleh orang tua karena hasilnya dinilai memuaskan dan sesuai harapan.

Mengapa hal ini terjadi? Salah satu alasan mendasar dipilihnya sekolah agama adalah keinginan orang tua agar anak-anak mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tumbuh dengan karakter yang kuat, berakar pada nilai-nilai moral dan religius.

Dalam situasi sosial yang makin kompleks, banyak keluarga merasa pendidikan berbasis atau sekolah agama menawarkan perlindungan moral, pengetahuan agama mendalam, kedisiplinan, dan arah hidup yang jelas bagi anak-anak mereka.

Sekolah berbasis agama, umumnya tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan kedisiplinan, kebiasaan doa atau refleksi harian, pembentukan etika sosial, serta penghayatan nilai-nilai hidup. Hal-hal semacam ini sering kali dirasakan minim perhatian di sekolah negeri yang lebih menekankan aspek akademik dan administratif.

Martin Buber, filsuf religius Yahudi, menyatakan bahwa "pendidikan bukanlah soal mentransfer informasi, melainkan membentuk manusia dalam relasi yang tulus". Dalam konteks ini, banyak sekolah berbasis agama justru menghadirkan relasi pendidik dan peserta didik yang lebih personal, spiritual, dan manusiawi.

Dalam pendekatan pedagogi Ignasian yang diterapkan di banyak sekolah Katolik, misalnya, pendidikan mencakup dimensi otak (kognitif), hati (afektif), dan tangan (aksi). Anak-anak diajak untuk berpikir kritis, merenung secara spiritual, dan bertindak secara etis. Inilah integrasi yang dirindukan banyak orang tua.

Preferensi Masyarakat

Preferensi ini bukan sekadar asumsi. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2022 menunjukkan bahwa 63,1 persen responden menyatakan lebih percaya sekolah berbasis agama dalam hal pembentukan karakter.

Hal senada muncul dalam studi Pusat Penelitian dan Pengembangan ( Puslitbang) Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama pada 2021, yang menyebutkan bahwa mayoritas orang tua memilih madrasah atau sekolah Kristen/Katolik karena lingkungan yang religius, aman, dan disiplin.

Pertumbuhan jumlah sekolah swasta berbasis agama juga menunjukkan tren yang konsisten. Data Kementerian Agama (Kemenag) RI menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, jumlah madrasah dan sekolah keagamaan swasta meningkat lebih cepat daripada sekolah negeri. Bahkan, di daerah perkotaan yang memiliki akses luas ke sekolah negeri, sekolah agama tetap memiliki daya tarik tinggi.

Bukan berarti sekolah negeri tidak memiliki potensi dalam membentuk karakter, namun dalam banyak kasus, dimensi ini tidak mendapat tempat memadai dalam desain pendidikan nasional. Pendidikan karakter sering diposisikan sebagai "muatan tambahan", bukan inti. Kurikulum yang padat, evaluasi berbasis angka, dan tekanan administratif membuat guru-guru kesulitan menyentuh sisi pembentukan kepribadian peserta didik.

Lebih jauh, pendekatan negara yang netral terhadap agama sering kali dipahami secara kaku, sehingga pendidikan nilai justru menjadi area kosong. Tidak jarang ditemukan, tidak semua sekolah negeri menyediakan guru pendidikan yang seagama dengan peserta didik. Padahal, nilai-nilai universal, seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, dan kasih sayang dapat diajarkan tanpa melanggar prinsip sekularisme negara.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan