Dugder-an: Beragam Untuk Bersatu
H. Hamlet Subekti--
Dari 75%-80% kota-kota yang pernah disinggahi dan stay atau tinggal di kota-kota propinsi, ada 4 (empat) daerah yang istimewa bagi saya. Yaitu: Belitung, Yogyakarta, Bali dan Semarang.
Belitung menjadi istimewa, karena terlahir dan sampai remaja berada di sini. Bangunan emosional, perjuangan hidup awal, dan tempaan karakter, terbentuk di sini.
Yogyakarta terbilang istimewa, karena tempaan karakter dari Belitung diperkental dan makin tajam oleh kota pelajar ini. Pergaulan lebih me-nasional, utamanya pelajaran kebudayaan dari kawan-kawan sesama mahasiswa yang berasal dari pelosok negeri Indonesia. Tentang percintaan tak perlu ditanya.
Bali itu juga istimewa, bukan karena sudah mendunia secara pariwisata dan keindahan alamnya, tetapi lebih karena pergulatan kaum minoritas (muslim) terhadap penduduk mayoritas Hindu. Agama dan budaya yang begitu kontras dengan kehidupanku sehari-hari sebelumnya. Diawal-awal sempat dikesankan dan menduga adanya penolakan oleh warga setempat.
Apalagi perpindahan ke Denpasar karena tugas, dipersepsikan oleh warga setempat sebagai eksodus dari Jakarta, karena pindah setelah kejadian jatuhnya rezim Orba tahun 1998. Namun berkat sosialisasi dengan membaur pada lingkungan setempat, keluarga kami bisa diterima dan bahkan "dibesarkan" oleh mereka.
BACA JUGA:Merenda Asa Membebaskan Anak Dari Pneumonia
BACA JUGA:Membekali Keahlian Kerja Untuk Mengurangi Pengangguran
Soal pluralisme ditataran implementasi, Semarang menjadi candra dimuka bagiku. Di Semarang, keberagaman adalah mempersatukan. Semua warga Indonesia, bahkan dunia, ada di Semarang. Jangan tanya lagi untuk penduduk yang berasal dari 35 kota dan kabupaten di Jawa Tengah. Jarang terdengar bentrokan antar etnis ataupun antar agama sampai mencuat kepermukaan di alam kemajemukan Semarang. Perbedaan sifat antar penduduk asli dengan pendatang, hampir tipis. Kondisi ini menjadikan Semarang istimewa bagiku.
Hari Sabtu 9 Maret 2024, di hadapanku, keistimewaan Semarang dipertontonkan. Lewat acara Dugder-an yang dikata-sambutankan oleh Walikota.
Dugderan adalah sebuah kebiasaan dan menjadi tradisi, yang dilaksanakan setiap tahun menyambut bulan suci Ramadhan. Maka wajar jika Ibu Walikota mengatakan disambutannya dengan: "acara ini bagian dari nguri-nguri budaya".
Dugderan, berasal dari kata "dug-der-an". Dugder mengikuti irama pemukul bedug, dug-der dug-der dug-der. Karena kegembiraan menyambut bulan barokah dan terkesan seperti permainan, maka ditambah imbuhan _an_ sebagai bentuk kata sifat. Di keseharian masyarakat menyebutkan dengan Dugderan. Simplifikasi.
Lalu pertanyaannya adalah dimana letak kemajemukan itu mempersatukan?. Bahwa simbol-simbol dan ornamen-ornamen yang ditampilkan mencerminkan setidaknya ada 3 (tiga) etnis menonjol kala itu, yakni Jawa, Arab dan Cina.