Hendrya Sylpana

Harga Beras Tetap Tinggi, Distribusi dan Intervensi Parsar Perlu Peran Pemerintah

Sejumlah warga yang tidak mendapatkan kupon tetap antre untuk mendapatkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di Kantor Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.. (IMAM HUSEIN/JAWA POS)--

BELITONGEKSPRES.COM, Kenaikan harga beras diprediksi akan terus berlanjut, terutama menjelang bulan puasa yang akan segera tiba. Harga beras yang tetap tinggi setidaknya akan bertahan hingga awal masa panen yang diharapkan dimulai pada akhir Maret.

Menurut Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, kenaikan harga beras yang cukup signifikan sebagian besar disebabkan oleh faktor pemilu. Meskipun pemilihan umum sudah berakhir, dampak dari penyaluran bantuan sosial berupa beras yang melimpah telah mendorong tengkulak untuk menaikkan harga beras.

”Penyaluran bansos beras meningkat tidak hanya oleh pemerintah, tapi juga para calon legislatif yang kemudian dibagikan ke masyarakat. Itu akan memengaruhi harga,” beber Media kepada Jawa Pos kemarin 2 Maret.

Faktor lain yang berkontribusi terhadap kenaikan harga beras adalah mundurnya masa panen beras, terutama di daerah-daerah utama penghasil beras seperti di Jogjakarta, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur. Kelangkaan stok ini menyebabkan harga beras naik di saat permintaan sedang tinggi, terutama menjelang Ramadan.

BACA JUGA:Inovasi SUV Crossover Alvez Jadi Faktor Daya Tarik Konsumen untuk Meminangnya

BACA JUGA:Per Februari 2024 Inflasi RI Meroket jadi 0,37 Persen, Harga Beras dan Telur Jadi Penyebabnya

Menurut Media, momen ini dimanfaatkan oleh distributor besar yang menahan persediaan beras, sehingga menyebabkan kenaikan harga. Sebagai langkah mitigasi jangka pendek, perlu dilakukan upaya untuk menstabilkan harga beras. 

Hal ini dapat dilakukan dengan memantau dan mengatur harga beras di berbagai wilayah, baik di kota maupun pedesaan, yang mungkin mengalami panic buying. Perlu juga untuk mengontrol daerah-daerah yang mengalami lonjakan harga yang tidak masuk akal, dengan pengumpulan data harian dan intervensi pasar serta distribusi yang lebih cepat ke daerah lain.

Selain itu, Media menegaskan pentingnya kerja sama dengan distributor. Kemungkinan penimbunan beras oleh distributor kecil dan menengah memang ada, namun sulit dilakukan tindakan hukum terhadap mereka. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan persuasif, terutama melalui pemerintah daerah, untuk mencegah penimbunan beras.

Untuk distributor besar, tutur Media, diperlukan penegakan hukum jika kedapatan menimbun beras. ”Sebetulnya pemerintah sudah punya datanya dan itu sudah terjadi penimbunan. Sehingga (terjadi) kelangkaan beras gila-gilaan saat ini,” tukas lulusan doktoral University of Manchester tersebut.

BACA JUGA:Realme 12 5G Resmi Meluncur, Fitur Kamera Periskop jadi Andalan

BACA JUGA:Spesial Ramadan 2024, Nikmati Promo Buka Puasa di Dafam Resort Belitung

Mengambil pelajaran dari pengalaman tahun sebelumnya, Media menyoroti pentingnya dana perlindungan sosial dan bantuan sosial menjelang Ramadan sebagai salah satu cara efektif untuk menekan inflasi. Namun, tahun ini ada perbedaan karena penyaluran bansos sudah dilakukan dalam skala besar menjelang pemilihan umum, terutama pada Desember 2023 dan Januari 2024. Dengan demikian, dampak inflasi dari bansos tampaknya kurang signifikan, seiring dengan penurunan frekuensi penyaluran.

Namun, Media juga menyadari bahwa penyaluran bansos dalam jangka panjang bukanlah solusi yang baik. Ia membandingkannya dengan mengobati masalah dengan obat yang seharusnya tidak relevan. Oleh karena itu, kontrol terhadap harga beras tidak bisa sepenuhnya diandalkan pada bansos.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan