Menelaah Ancaman dan Peluang Dibalik Tarif 'Timbal Balik' Trump

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bertemu dengan Duta Besar AS untuk Indonesia Kamala S. Lakhdhir di Jakarta, Selasa (8/4/2025)-Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian-ANTARA/HO
BELITONGEKSPRES.COM - Perdagangan internasional saat ini tengah menghadapi tekanan ketika Laman Gedung Putih mengumumkan pengenaan tarif dasar dan bea masuk atas barang-barang kepada lebih 180 negara, termasuk Indonesia.
Waktu berlakunya tarif tersebut terbagi menjadi dua tahapan. Pada tahap pertama, tarif 10 persen untuk semua negara akan mulai berlaku mulai Sabtu, 5 April 2025. Setelah itu, tarif khusus yang diperuntukkan bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia, akan berlaku mulai Rabu, 9 April 2025.
Implementasi dalam kebijakan tarif ini adalah barang Indonesia yang masuk ke AS dikenakan tarif sebesar 32 persen, sebagai timbal balik atas tarif yang diberlakukan Indonesia terhadap barang dari AS, yang diklaim mencapai 64 persen.
Ini jelas kondisi yang tidak menguntungkan bagi Indonesia. Catatan Kementerian Perdagangan menunjukkan Amerika Serikat adalah salah satu negara penyumbang surplus perdagangan nonmigas pada 2024. Selain itu kontribusi AS juga mencapai 16,08 miliar dolar AS dari total surplus perdagangan migas sebesar 31,04 miliar dolar AS.
BACA JUGA:Bingkisan Lebaran yang Cantik dari Garuda Muda
Kenaikan tarif resiprokal Donald Trump akan berpotensi memicu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV pada 2025 yang disebabkan potensi ekspor yang menurun, harga komoditas yang semakin rendah, tingkat penerimaan pajak yang melemah, dan secara mikro apabila kebijakan fiskal pemerintah tidak mampu memberikan stimulus tambahan, maka sisi konsumsi belanja rumah tangga juga melemah.
Resesi ekonomi adalah kondisi ketika dua atau tiga kuartal ekonomi mengalami pelambatan. Menurut Center of Economic and Law Studies (Celios), resesi berbeda dari krisis ekonomi yang mencatat pertumbuhan minus. Dalam resesi, pertumbuhan ekonomi tidak selalu minus, namun pertumbuhan yang melambat pun sudah bisa disebut sebagai resesi ekonomi. Dalam korelasi ekonomi Indonesia dengan Amerika Serikat, setiap 1 persen penurunan pertumbuhan ekonomi AS, maka ekonomi Indonesia turun 0,08 persen.
Kebijakan tarif dagang AS di bawah pemerintahan Presiden Trump telah membawa dampak signifikan terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Pengumuman tarif ini menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas nilai tukar rupiah, daya saing produk ekspor Indonesia, serta ketahanan ekonomi dalam menghadapi tekanan eksternal.
Pemerintah Indonesia harus mencari peluang yang perlu dilakukan, termasuk pembelajaran dari negara yang telah berhasil keluar dari ancaman perang dagang periode sebelumnya.
BACA JUGA:Turunkan NEET, Angkat Daya Saing Indonesia
Dampak terhadap Indonesia
Dunia usaha Indonesia setidaknya melihat tiga hal paling terdampak dari kebijakan tarif "timbal balik" Trump tersebut. Hal yang pertama adalah biaya produksi industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku dari Amerika Serikat juga ikut naik.
Hal ini akan menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar global, sementara di dalam negeri, biaya produksi yang naik akan membuat harga jual bertambah mahal.
Hal yang kedua adanya tarif impor 32 persen akan membuat volume ekspor menurun yang berdampak negatif pada kinerja dan pertumbuhan industri nasional di Indonesia. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melihat industri berorientasi ekspor yang saat ini kondisinya rentan dan memiliki permintaan besar dari pasar AS kemungkinan akan lebih sulit bertahan dalam kondisi ini, antara lain sektor garmen, sepatu, karet, perikanan, dan furnitur.
Hal yang ketiga merupakan dampak paling buruk dari serangkaian akibat yang akan terjadi imbas kebijakan Trump tersebut adalah menyempitnya lapangan pekerjaan dan maraknya pemutusan hubungan kerja atau PHK.