Mencermati Kasus Pertamax Oplosan

Polisi memasang garis polisi di truk tangki pengangkut bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi barang bukti saat pengungkapan kasus tindak pidana migas di Polresta Bandar Lampung, Lampung, Rabu (11/9/2024). Satuan Reskrim Polresta Bandar Lampung mangamankan-ARDIANSYAH-ANTARA FOTO
Kepercayaan publik tidak bisa dibangun dengan pernyataan semata, tetapi dengan keterbukaan, sistem yang kuat, dan pengawasan yang benar-benar independen.
Jaminan konsumen
Maka, wajar jika kondisi ini mengundang kritik dan desakan yang datang dari berbagai pihak, termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk mengaudit ulang kualitas BBM.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mendesak Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM untuk memeriksa ulang kualitas bahan bakar minyak (BBM) Pertamina yang beredar di masyarakat.
BACA JUGA:'Danantara Effect', Transformasi atau Ilusi Ekonomi Megaholding BUMN
YLKI ingin agar hasil pengujian ulang juga dipublikasikan secara transparan. Permintaan ini mengindikasikan bahwa masyarakat tidak serta-merta puas dengan jaminan yang diberikan Pertamina. Ada celah, ada keraguan, dan ada pertanyaan yang harus dijawab dengan fakta yang lebih terbuka.
Memang, faktanya, ketika bahan bakar yang dikonsumsi masyarakat dipertanyakan kualitasnya, implikasinya tidak hanya menyangkut urusan teknis, tetapi juga ekonomi, lingkungan, dan kepercayaan publik.
Sebab kendaraan yang mengonsumsi BBM di bawah standar bisa mengalami kerusakan mesin lebih cepat. Biaya perawatan meningkat, daya tahan mesin menurun, dan pada skala yang lebih luas, ini berdampak pada daya beli serta produktivitas masyarakat.
Lebih jauh, ketidakpercayaan terhadap penyedia energi nasional dapat mengganggu stabilitas pasar.
Konsumen yang merasa dirugikan akan mencari alternatif lain, bahkan jika itu berarti beralih ke pemasok swasta atau bahan bakar impor yang lebih mahal. Jika dibiarkan berlarut-larut, ini bisa menjadi bumerang bagi industri energi nasional.
BACA JUGA:Pendistribusian Pupuk Subsidi Tepat Sasaran Perkuat Ketahanan Pangan
Ini belum termasuk angka kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi terkait hal itu.
Namun, setelah mendapatkan penjelasan yang rinci dari Pertamina Patra Niaga yang dipanggil secara khusus ke Gedung DPR RI pada Rabu, 26 Februari 2025, Wakil Ketua Komisi XII DPR Bambang Haryadi justru meyakini ada mispersepsi soal peristilahan blending.
Blending bukan berarti pengoplosan atau mengubah RON BBM dari 90 (Pertalite) ke 92 (Pertamax), melainkan justru untuk menambah kualitas dan performa BBM.
Jika benar hal tersebut yang terjadi, maka diperlukan langkah konkret untuk meredam polemik ini dan mengembalikan kepercayaan publik, termasuk untuk mengaudit secara transparan dan terbuka.
Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, perlu segera membentuk tim independen untuk mengaudit kualitas BBM yang beredar di pasaran. Hasilnya harus dipublikasikan secara berkala, bukan hanya sebagai laporan internal yang tertutup. Dengan demikian, masyarakat bisa melihat sendiri bahwa tidak ada yang ditutup-tutupi.